Hingga Ujung Waktu
Minggu, 27 Oktober 2013
‘Mengapa harus ada perpisahan kalau pertemuan selalu menyenangkan’
Sabtu malam 12 Oktober
2013 di RS Amelia
Mungkin waktunya sudah
tiba. Batinku sangat yakin bahwa malam itu adalah ujung dari penjalanan hidup
yang dia lewati. Menit-menit terakhir yang begitu menyiksa,dan aku
merasakannya. Aku merasakan kehadiran berjuta makhluk yang tidak terlihat
memenuhi kamar rumah sakit tempat dia berbaring lemah.
Apa yang bisa kami
lakukan??. Bapaknya, ibunya, semua keluarganya termasuk aku berkumpul
merapalkan do’a dan surat Yasin belasan kali. Tidak ada tawa lagi, semua
bersedih dalam penantian yang begitu menyakitkan. Antara hidup atau mati...
***
Kedua kakak ku pulang
dari Surabaya dan Sidoarjo, mbak Zidny dan mas Bahar. Hari itu memang hari
libur cukup panjang karena Lebaran Idul Adha esoknya. Aku berencana untuk
mengajak mereka makan di luar malamnya. Namun, aku teringat kalau salah satu
keponakanku (Apin) sedang dirawat dirumah sakit. Hingga aku pun membatalkan
niatku.
Apin saat berusia 8 tahun-an |
Sebut saja Apin (Mohammad
Adi Makayasa). Laki-laki yang masih bisa disebut bocah, dengan perawakan
tinggi, berparas tampan, dan cukup kekar. Mungkin jika dia sehat dan bisa beraktifitas
biasa, dia akan tumbuh menjadi pria yang disukai banyak gadis. Umurnya setara
dengan siswa SMA kelas X, 16 tahun tepatnya. Namun, garis takdir berkata lain,
dia tidak dapat menjalani masa-masa indah di SMA nya. Dia harus sabar dalam
sakitnya dan tidak bisa beraktifitas seperti teman sebayanya.
Dia sudah sakit selama
satu tahun lebih. Gejala awal penyakitnya sama seperti gejala cikungunya. Panas tinggi, hingga tidak
bisa berjalan. Beberapa minggu menjalani perawatan hingga dia bisa berjalan
kembali. Namun naas, satu hari saat dia ingin pergi ke kamar mandi, dia jatuh
terpeleset. Sejak saat itu, kira-kira bulan Juli 2012, dia terbaring lemah dan
tidak bisa berjalan kembali.
Diagnosa dokter
berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa penyakitnya adalah penyempitan tulang
belakang, ada yang bilang cingukunya, ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah
guna-guna. Orang tuanya semakin bingung untuk meng-identifikasi apa penyakit
sebenarnya. Sudah berkali-kali harus pindah untuk rawat inap dari satu rumah
sakit ke rumah sakit yang lainnya di Jakarta. Namun, tidak ada banyak kemajuan.
Hingga orang tua Apin
memutuskan untuk pulang kampung saja ke Pare dan dirawat disini. Lebih baik
disini, dekat dengan keluarga dibanding ketika di Jakarta.
Perjalanan hingga
mencapai 24 jam dengan mobil dari Jakarta menuju Pare adalah suatu perjalanan
panjang yang melelahkan sekaligus menyakitkan bagi Apin. Selama itu dia tidak
bisa menggerakkan anggota badannya karena harus terbaring mengikuti kemana
mobil berjalan. Dengan kondisi yang tidak bisa melakukan apapun, dia harus
menggunakan ‘pampers’ untuk menampung
air kencingnya saat dia ingin buang air kecil. Aku bisa membayangkan itu akan
sangat tidak nyaman karena lembab dan kotor.
Tiba di Pare, kondisi
tetap sama. Apin tidak menunjukkan kemajuan dalam kesehatannya. Dan kami sadar,
bahwa mulai saat itu dan seterusnya, bahwa dia butuh penanganan khusus layaknya
bayi,dan itu adalah ujian baru bagi ibunya.
Beberapa hari setelah di
Pare, ada gejala penyakit lain yang muncul. Karena perjalanan panjang yang dia
lakukan sebelumnya, bakteri menyerang bagian pantatnya dan sela-sela pahanya hingga
timbul luka-luka merah. Berjalannya bulan, luka itu semakin parah. Melebar dan membesar
hingga membentuk sebuah lubang di bagian belakang tubuhnya, tepat pada bagian
tulang ekor. Pernah sekali aku melihat luka pada bagian itu, terlihat tulang
ekornya dengan jelas. Allah, sakit apa yang Engkau berikan pada adikku ini.
Luka itu pasti menyakitkan. Tuhan, berikan dia kesabaran...
***
Tidak bisa berjalan, itu
pada awalnya. Dan diagnosa dokter tidak ada yang yakin menyebutkan apa penyakit
yang diderita oleh Apin. Oprasi, bukan jalan terbaik menurut orang tuanya.
Hingga pada bulan-bulan berikutnya setelah tinggal di Pare, fokus bukan lagi
pada bagaimana cara menyembuhkan kelumpuhan yang sudah diderita Apin selama
berbulan-bulan. Namun, fokus sudah beralih pada bagaimana menyembuhkan luka
pada bagian pantatnya yang semakin membesar.
Pengobatan medis dan
non-medis pun sudah dijalani. Namun, kondisi tetap tidak berubah selama beberapa
bulan lamanya, terhitung dari Juli 2012 hingga tiba pada bulan Oktober 2013.
***
Oktober, 2013
[ Mungkin aku adalah salah satu
orang yang cukup sering menjenguk Apin dirumahnya, meskipun hanya sekedar
bekata “Hai”. Dan satu hal yang kuingat ketika aku datang mendekatinya, bahkan
setiap orang yang menjenguknya, adalah ketika dia meminta untuk diambilkan air
minum. “Mbaaak, ambilin minuum...” ]
Sabtu malam minggu kedua
bulan Oktober kali ini sangat kelabu. Aku harus terburu-buru pergi ke rumah
sakit untuk mengambilkan buku Yasin karena Ibuku menelfon dan harus datang
kesana secepatnya. Kondisi Apin sudah sangat memburuk.
Sejak sehari sebelumnya,
dia terus saja mengeluarkan cairan hitam dari mulutnya. Itu semua berasal dari
lambungnya yang terluka. Selang dipasang dihidung, dan terlihat cairan hitam
juga keluar dari hidungnya. Aku tidak tega melihatnya ya Allah.
Cairan infus adalah
satu-satunya pemasok energi bagi tubuh Apin. Dengan oksigen yang juga dipasang
melalui selang pada mulutnya. Kata dokter, tidak boleh ada makanan atau minuman
apapun yang masuk melalui mulutnya, karena Apin sudah tidak bisa lagi menelan
makanan.
Setelah sholat magrib,
aku mengajak masku Bahar, segera pergi ke RS. Hanya kurang dari sepuluh menit,
kami sampai di kamar Anggrek 1 Amelia. Suasana kamar sudah begitu mencekam.
Kulihat bapak dan ibunya merapal bacaan ayat Qur’an disamping telinga Apin.
Hatiku berdesir, aku sangat tidak tega dengan keadaan Apin. Kubuka
Qur’an yang kubawa dan segera kubacakan Yasin untuknya. Sesekali aku melihat
kearahnya, kata ibuku dia sedang koma setelah beberapa saat sebelumnya
kejang-kejang. Saat aku melihat, matanya dalam keadaan membuka meskipun koma,
dan dia masih saja menggigit-gigit bibirnya, hingga terlihat darah keluar.
Alat pengukur dunyut
nadi, masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Meskipun pada saat itu, aku
merasa bahwa itu adalah akhir atau masa-masa naza’nya. Aku tidak henti merapal
al-fatihah dan surat Yasin untuknya. Berikan yang terbaik menurut Mu ya Allah. Jika
kematian adalah yang terbaik untuknya, berikan kemudahan untuknya Allah. Dan
jika Engkau masih menginginkan dia disamping kami, sadarkan dia dan sembuhkan
dia Allah...
Aku ingin menangis saja
waktu itu. Sungguh aku tidak bisa membayangkan kalau aku berada dalam kondisi
Apin, dalam pesakitannya yang teramat sangat, dan dia harus merasakannya
seorang diri.
Kerabat lain segera
berdatangan pukul 7 lebih setelah aku mengirim beberapa pesan. Pada saat itu,
ibuku mengajakku untuk menunaikan sholat isya’ bersama bapak. Usai berdo’a, aku
dan ibuku ingin beristirahat sejenak di emperan masjid RS. Dan kami berbincang
singkat tentang kondisi Apin. Dan ibuku berkata bahwa kalau saja orang tuanya
ikhlas atas semua kehendak Allah, pasti jalannya akan dipermudah. Setelah perbincangan
singkat itu, adik Apin (Adam) memanggil kami dengan setengah berlari sambil
menangis terisak-isak. Kami segera berlari menuju kamar. Diluar kamar, kerabat
sudah berkumpul dan linangan air mata sudah membanjiri mata mereka semua. Aku tahu
itu sudah waktunya.
Malam itu, tepat pukul
7.30, Allah mengambil nyawa adik kami tercinta, Apin. Aku yakin Allah
mengambilnya dengan cara terbaik. Kulihat muka adik kami sudah memucat, dengan
garis wajah yang sangat tenang. Aku melihat, tidak terlihat lagi pesakitan yang
dirasakannya. Mungkin memang itu adalah jalan yang terbaik baginya.
Kami sadar, semua tidak
mungkin lagi untuk kembali. Kami semua harus ikhlas melepas adik tercinta,
Apin. Namun, kami sangat percaya bahwa Apin akan ditempatkan pada posisi
terbaik di sisi Nya. Penyakit yang dideritanya selama setahun lebih akan
menghapus semua dosanya, karena yang kami tahu dia sangat sabar dan jarang
mengeluh atas kondisi yang dideritanya.
Rapalan do’a kami,
kakak-kakak mu, adikmu, teman-temanmu, budhemu, pakdhemu, ibumu, bapakmu,
kakekmu, nenekmu, dan semua kerabat akan selalu mengalir untukmu, yang
tercinta, Apin. Tersenyumlah dan tenanglah disana. Kami akan selalu bersamamu,
dalam kenangan yang sudah terekam dalam memori, dalam angan-angan yang terekam
dalam ingatan, dan senyumanmu yang selalu mengingatkan kami tentang ketabahan
dan kesabaran.
Apin, terbaring lemah di RS di Jakarta. Namun senyumnya masih mengembang :) |
Untuk adik kami tercinta,
kami selalu merindukanmu.
2 komentar:
sedih,,,,
aq jd ingat sa'at2 dia sering memangilku & d suruh belikan ice cream,,,serasa masih ada ....Subhanallah,,
Iki sopo had?
Posting Komentar