‘Sarkem Ala Embong Anyar’


Beberapa hari yang lalu, sahabat dekatku yang sedang menuntut ilmu di salah perguruan tinggi di Malang, datang untuk mengunjungiku di Pare. Rencana awal dia menginap di tempat ku, namun karena ada ‘sesuatu’, akhirnya dia harus berteduh di camp temanku yang lain. Memang, plus minus delapan bulan kita tidak bertatap muka. Dimulai dari akhir lebaran tahun lalu dan baru saja bertemu sekitar lima hari yang lalu.

Setelah kurang lebih dua malam dia bersinggah di kota tunggu yang besar ini, akhirnya kita memutuskan untuk keluar bersama menikmati hawa malam Pare yang khas, dingin dan menusuk. Aku menjemputnya di salah satu lembaga kursusan tempat dia berada saat itu, sekitar pukul sembilan malam lebih. Harus menunggu nya berganti pakaian beberapa saat, hingga akhirnya aku dan dua temanku memutuskan untuk berkeliling Pare dengan bonceng rangkap tiga. Tidak masalah, sudah malam, pikirku. Dan aku rasa, polisi sudah tidak ada yang bersiaga dalam lindungan malam berhawa dua puluh lima derajat.

Aku menjadi sopir mereka berdua, karena memang posisinya aku sebagai tuan rumah. Menjadi tuan rumah yang baik, bijaksana, dan tidak sombong dengan mengajak tamu keluar atau setidaknya melayani mereka. Mengajak mereka berputar-putar disepanjang kota yang bisa dikatakan, kota simple but perfect. Aku melewati sepanjang jalan raya, alun-alun, berbelok kanan dan hingga mencapai Jl. Jaya Wijaya. Tau nggak?. Jalan itu biasa disebut ‘Embong Anyar’ oleh masyarakat setempat, yang artinya adalah jalan baru. Jalan ini tidak bisa dikatakan baru sebenarnya, karena memang pembangunan jalannya sudah sejak beberapa tahun yang lalu.

Mungkin karena sejarah-lah yang membuat nama jalan ini disebut ‘Embong Anyar’.  Jalan ini bisa dikategorikan seperti Gang Doli yang ada di Surabaya ataupun Sarkem yang ada di Jogja. Yups, tepat sekali, jalan ini memang tempat untuk prostitusi illegal di daerah Pare. Berbeda dengan gang Doli ataupun Sarkem yang memang sudah terkenal seantero negeri, Embong Anyar hanya sebatas tempat prostitusi untuk kalangan ekonomi kelas bawah. Bagaimana dengan para pelanggan yang mampir?. Bisa ditebak, para pengguna jasa pelacur hanyalah tukang becak ataupun pekerja kelas bawah lainnya.

Sempat melihat seorang pelacur ‘bencong’ sedang berdiri menunggu pelanggan yang mau menyewanya seharga lima ribu rupiah atau mungkin kurang dari angka itu, saat aku mengarahkan setir motor ke jalan itu. Berpakaian gaun putih yang sudah lusuh, dengan membawa tas jinjing,memakai rambut palsu yang sudah kumal pula, dan berdandan ala kadarnya denga bedak warna kontras dengan permukaan wajahnya, yang membuat wajah orang itu sedikit menakutkan.

Sudah sekitar pukul sepuluh malam lebih, ketika kita bertiga melewati jalan itu. Kita terpana menyaksikan
seorang pelacur yang sabar menunggu para konsumen bertangan kasar yang bersedia berhenti untuknya. 
Dengan gelapnya malam dan sunyinya malam, kita hanya berpikir apakah ada orang malam itu yang mau bersenggama dengannya. Perasaan iba tiba-tiba hinggap di dalam hati dan pikiran kita masing-masing. Sungguh berat hidup pelacur itu. Dan rasa syukurlah akhirnya yang muncul pada akhir perjalanan kita hingga tiba di Garuda Park untuk sekedar berbincang, meneguk segelas kopi disertai jagung bakar.

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Hadna Muthia Izzati
Pare, Kediri, Indonesia
A trainer | A traveler | A dreamer| An Ordinary girl
Lihat profil lengkapku

Ordinary's Friends

Blog contents © Ordinary Little Girl 2010. Blogger Theme by NymFont.