‘Sarkem Ala Embong Anyar’
Senin, 16 Juli 2012
Beberapa hari yang lalu,
sahabat dekatku yang sedang menuntut ilmu di salah perguruan tinggi di Malang,
datang untuk mengunjungiku di Pare. Rencana awal dia menginap di tempat ku,
namun karena ada ‘sesuatu’, akhirnya dia harus berteduh di camp temanku yang
lain. Memang, plus minus delapan bulan kita tidak bertatap muka. Dimulai dari
akhir lebaran tahun lalu dan baru saja bertemu sekitar lima hari yang lalu.
Setelah kurang lebih dua
malam dia bersinggah di kota tunggu yang besar ini, akhirnya kita memutuskan
untuk keluar bersama menikmati hawa malam Pare yang khas, dingin dan menusuk. Aku
menjemputnya di salah satu lembaga kursusan tempat dia berada saat itu, sekitar
pukul sembilan malam lebih. Harus menunggu nya berganti pakaian beberapa saat,
hingga akhirnya aku dan dua temanku memutuskan untuk berkeliling Pare dengan
bonceng rangkap tiga. Tidak masalah, sudah malam, pikirku. Dan aku rasa, polisi
sudah tidak ada yang bersiaga dalam lindungan malam berhawa dua puluh lima
derajat.
Aku menjadi sopir mereka
berdua, karena memang posisinya aku sebagai tuan rumah. Menjadi tuan rumah yang
baik, bijaksana, dan tidak sombong dengan mengajak tamu keluar atau setidaknya
melayani mereka. Mengajak mereka berputar-putar disepanjang kota yang bisa
dikatakan, kota simple but perfect. Aku melewati sepanjang jalan raya,
alun-alun, berbelok kanan dan hingga mencapai Jl. Jaya Wijaya. Tau nggak?. Jalan
itu biasa disebut ‘Embong Anyar’ oleh masyarakat setempat, yang artinya adalah
jalan baru. Jalan ini tidak bisa dikatakan baru sebenarnya, karena memang
pembangunan jalannya sudah sejak beberapa tahun yang lalu.
Mungkin karena
sejarah-lah yang membuat nama jalan ini disebut ‘Embong Anyar’. Jalan ini bisa dikategorikan seperti Gang Doli
yang ada di Surabaya ataupun Sarkem yang ada di Jogja. Yups, tepat sekali,
jalan ini memang tempat untuk prostitusi illegal di daerah Pare. Berbeda dengan
gang Doli ataupun Sarkem yang memang sudah terkenal seantero negeri, Embong
Anyar hanya sebatas tempat prostitusi untuk kalangan ekonomi kelas bawah. Bagaimana
dengan para pelanggan yang mampir?. Bisa ditebak, para pengguna jasa pelacur hanyalah
tukang becak ataupun pekerja kelas bawah lainnya.
Sempat melihat seorang
pelacur ‘bencong’ sedang berdiri menunggu pelanggan yang mau menyewanya seharga
lima ribu rupiah atau mungkin kurang dari angka itu, saat aku mengarahkan setir
motor ke jalan itu. Berpakaian gaun putih yang sudah lusuh, dengan membawa tas
jinjing,memakai rambut palsu yang sudah kumal pula, dan berdandan ala kadarnya
denga bedak warna kontras dengan permukaan wajahnya, yang membuat wajah orang
itu sedikit menakutkan.
Sudah sekitar pukul sepuluh
malam lebih, ketika kita bertiga melewati jalan itu. Kita terpana menyaksikan
seorang
pelacur yang sabar menunggu para konsumen bertangan kasar yang bersedia
berhenti untuknya.
Dengan gelapnya malam dan sunyinya malam, kita hanya
berpikir apakah ada orang malam itu yang mau bersenggama dengannya. Perasaan iba
tiba-tiba hinggap di dalam hati dan pikiran kita masing-masing. Sungguh berat
hidup pelacur itu. Dan rasa syukurlah akhirnya yang muncul pada akhir
perjalanan kita hingga tiba di Garuda Park untuk sekedar berbincang, meneguk
segelas kopi disertai jagung bakar.
0 komentar:
Posting Komentar