‘Abstrak’
Kamis, 25 Oktober 2012
Sosok figuran dalam sebuah episode kehidupan, kadang menjadi bagian penting
yang tidak dapat terpisahkan dari kisah tokoh utama. Menjadi sosok yang paling
tahu, itu bisa jadi. Atau berperan sebagai orang yang selalu ada setiap saat
untuk sang tokoh utama. Dan saya kira, figuran adalah sebutan yang tepat untuk
posisiku kali ini.
Tidak bermaksud ikut
campur atau malah terlibat dalam masalah tokoh utama yang bisa saya sebut
dengan teman dekat sendiri. Hanya saja, sangat tidak pas kalau saja saya
berdiam diri untuk hal ini. Sesuatu yang sering disebut dengan hal ‘abstrak’ adalah
penyebab utamanya. Lagi lagi, hal ‘abstrak’ itu menjadi suatu masalah yang
sungguh complex dan complicated.
Saya selalu yakin, semua problema
kehidupan, semua yang bisa dikerjakan dengan kepala dingin, semua yang bisa diusahakan
dengan tenaga dan dengan ketenangan
serta kesabaran pasti akan menciptakan sebuah hasil yang maksimal. Menyederhakan
hal yang complex, hematnya seperti itu.
Tapi saya rasa, tidak untuk
hal ‘abstrak’ ini. Tidak terlihat dan hanya bisa dirasakan oleh orang-orang
yang terjangkit olehnya. Jadi, tidak jarang problema tentang hal itu tidak
dapat terselesaikan dengan hanya menggunakan logika, bahkan berakhir dengan
sebuah ‘pesakitan’. Saya tidak mengalaminya, tapi setidaknya saya bisa
merasakan sebuah ‘pesakitan’ karena sebuah penghianatan dari kisah tokoh
utamanya.
Memicingkan mata berkali-kali,
menarik urat alis sehingga membuat mereka hampir berdempetan, dan mulut
menganga lebar karena mendengar kisah hidup seorang teman tentang hal ‘abstrak’
yang hadir mewarnai hari-harinya. Betapa tidak, penghianatan dari pihak kedua
kerap terjadi, entah sudah berapa kali itu terjadi. Padahal, dia selalu
menganggap bahwa dia selalu bersikap maksimal kepada wanitanya.
Memberi perhatian secara
maksimal, menghubunginya sering-sering, menanyakan kabar setiap saat, hingga
memberi ucapan-ucapan mesra sebagai obat tidur terindah sebelum bermimpi. Dia
melakukan dengan sepenuhnya, bukan setengah-setengah dalam usianya yang hampir
menyentuh kepala tiga. Dia serius untuk hal semacam itu, tapi pesakitan masih
saja terjadi.
Saya tidak tahu
penyebabnya, hingga kegagalan berulang kali mampir. Tapi yang saya tidak habis
pikir, selalu saja dia relakan wanitanya untuk orang lain. Dia hanya menyadari
bahwa mungkin dia tidak terlalu baik, dan ada saja yang kurang dalam dirinya,
sehingga dia merasa wanitanya memilih orang lain karena berbagai kekurangannya.
Usaha, pasti sudah dia
lakukan. Perbaikan dalam hubungannya, teori apapun mungkin sudah diterapkan. Tapi,
begitulah jalannya. Saya hanya bisa berkata untuk kamu, ‘Rasa cintamu
melumpuhkan segalanya. Yang kamu tahu, hanya kebahagiaan untuk wanitamu, hingga
kamu sendiri lupa rasa bahagia untuk dirimu. Kebahagiaan asli dalam dirimu
sudah tertutup dengan hal lain yang membuatmu bahagia. Semoga saja kamu bahagia
melihat wanitamu tetap bahagia, dalam pesakitanmu’. Maaf, saya hanya seorang
figuran, tanpa bermaksud ikut campur dalam problema hidupmu.