Do’aku Masih Saja Kamu


Tulisan ini ingin aku awali dengan megucap, apa kabar?. Apa kabar kamu yang disana?. Mungkin saja kamu baik-baik saja. Dan aku berharap kamu akan selalu baik dalam kondisi apapun. Hal itu menjadi rapalan do’a yang selalu kudengungkang. Karena Tuhan Maha Pendengar kan?.

Aku percaya akan do’a dan kekuatannya. Yang mampu menjadikan yang lemah menjadi kuat, yang mampu membuat keyakinan semakin bertambah, yang membuat sesuatu yang kita sebut ‘mimpi’ akan menjadi lebih dekat, yang mampu memberi ketenangan dalam ketegangan, yang menjadikan diri dari biasa menjadi luar biasa, yang dapat meluluhkan hati yang keras menjadi lunak, yang memberi suatu energi yang tidak terbatas, dan yang mampu mengalahkan segala ketakutan yang menghadang.

Mungkin ada banyak hal yang membuat orang tidak percaya akan kekuatan do’a. Tersebab do’a yang selalu diucapkan tidak kunjung dikabulkan, atau mungkin juga tersebab tidak ada perubahan, meskipun telah berdo’a sepanjang malam.

Sebenarnya, itu semua hanya butuh waktu. Ya, itu saja. Karena Tuhan tidak akan memberikan segala permintaan umatnya secara serta merta, kan?. Mungkin saja setelah meminta, Tuhan langsung memberi, atau sebulan kemudian, mungkin juga setahun kemudian, atau lima tahun, mungkin juga sepuluh tahun, atau malah tidak diwujudkan sama sekali oleh Tuhan?. Untuk yang terakhir, Tuhan tidak akan pernah lalai dan lupa. Dia akan selalu mendengar semua pinta dari hambaNya, jika tidak didunia, maka akan diganti diakhirat. Benar begitu?.

Meskipun do’aku sederhana, setidaknya aku tidak pernah melewatkannya barang sehari pun. Didalam rentetan do’a yang aku rapalkan, tak pernah lupa kuselipkan kamu didalamnya. Tentang kondisi, kesehatan, kekuatan, segala kelancaran akan hidupmu dan semua pengharapanmu. Tak lupa aku sisipkan rapalan do’a akan secercah ‘mimpi’ yang selalu membayangi. Mungkin saja Tuhan sedang berbaik hati dan langsung mengabulkan beberapa permintaan hambaNya yang rewel ini.

Kalau pun tidak, aku akan tetap menunggu. Tidak ada salahnya menunggu untuk sebuah hasil dan sesuatu yang menakjubkan, apalagi yang bisa membuat hidup semakin hidup. Aku tidak akan pernah lelah menunggu. Menunggu jawaban atas do’a yang kurapalkan.

Yang Ketujuh di Batas Kota Ini



Aku menunggu saat itu. Dimana secara tidak langsung, aku benar-benar sadar bahwa aku memang menunggu. Meskipun kadang aku menolak untuk itu. Tapi aku ingin mengukir kisahnya menjadi sebuah rangkaian yang akan selalu dikenang, atau hanya dilupakan begitu saja seiring berjalannya waktu.

Dan yang ketujuh, akhirnya tiba. Tidak bisa kupungkiri lagi, dia memang hadir untuk yang ketujuh kalinya. Tujuh, angka yang menurutku pribadi adalah sebuah keajaiban. Tujuh, angka untuk keajaiban dunia, angka untuk lapisan langit, dan tujuh untuk angka yang paling istimewa bagiku.

Mungkin yang ketujuh, akan menjadi yang paling berkesan, aku telah berharap sebelumnya. Mungkin juga yang ketujuh ini akan menjadi sebuah isyarat baik, atau berbagai kemungkinan yang berkaitan dengan keberuntungan lainnya. Hanya pengharapan, sebenarnya. Baiklah, sebelum hadir yang ketujuh, ada enam hal lain yang terjadi sebelumnya memang. Dengan berbagai kejadian dari waktu yang terus bergulir, menjadi sebuah rangkaian kenangan hingga tibalah puncaknya, yang ketujuh. Di batas kota ini, dia selalu menyebutnya begitu, dari pertama hingga yang terakhir.

Untuk pertama kali kunjungannya di batas kota ini, sudah lama sekali. Bahkan aku lupa kapan tepatnya. Aku tidak tahu dan tidak ada rencana apapun untuk menyambut kehadirannya. Hanya satu hal yang aku punya, sebuah hal sederhana yang tidak akan pernah hilang dari diriku. Sebuah ‘senyuman kecil’, mungkin itu hal yang berharga bagiku. Mungkin juga orang lain yang bersamaku. Hingga aku sadar, betapa indahnya jika senyuman selalu mengembang di balik semua kebahagiaan maupun kesedihan. Tapi, mungkin dia masih tidak memahami atas sikapku yang tidak dapat diperkirakan, apalagi untuk yang pertama.

Kali kedua kehadirannya, masih di tahun yang sama. Dengan gaya anak muda jaman sekarang yang anti-kemapanan, dengan sepasang sandal sederhana, dia melangkah lagi di batas kota ini. Bedanya, aku bersamanya menaiki bis antar kota di tengah derasnya hujan, dengan berteduh di kantor polisi sebelum mendapat bis terakhir menuju batas kotaku. Senyumku masih saja mengembang kala itu, dan ada satu hal lagi yang mulai mekar dan ikut tersenyum. Mungkin karena waktu yang berjanji akan semua yang terjadi, sebuah hati yang mulai terbuka dengan senyum yang juga mengiringinya.

Semua pria akan luluh dengan satu hal, rengekan atau tangisan. Untuk ketiga kalinya, aku benar-benar tidak sadar melakukan itu semua. Aku pikir itu hal yang bodoh. Dengan sebuah panggilan ayng lebih tepatnya bisa disebut paksaan, dia akhirnya melangkah lagi dan merasakan malam-malam di batas kota ini, di bulan yang sama. Aku benci penyesalan. Hingga aku bisa memaafkan sikapku yang berlebihan padanya.

Melepaskan seseorang lebih terasa sakit dibanding meninggalkan seseorang. Begitu kesimpulan yang bisa aku petik di kehadirannya yang keempat, setelah berpuluh-puluh malam berlalu. Mungkin jika bisa dilihat dengan jelas, hati yang sebelumnya kosong, sudah terisi penuh dengan bunga yang bermekaran dalam beberapa waktu yang berlalu. Tapi, di yang keempat ini, entah mengapa dia seakan membabat pelan-pelan yang sudah tumbuh. Dan aku hanya bisa diam dalam keheningan. Dan mulai menyadari, betapa berharganya hamparan hati itu untuk ditumbuhi bunga-bunga dari orang lain, bukan hanya seorang saja.

Yang kelima kehadirannya, dia datang bersama salah seorang kenalannya. Meskipun aku masih bisa mengembangkan senyumku, tapi aku benar-benar tidak mengaharapkan kedatangannya, sama sekali. Tanaman yang tumbuh itu sudah tiga perempat hilang, meskipun masih ada seperempat lainnya. Sudah cukup untuk menumbuhkan yang sudah mati. Dan malam pun tetap menjadi saksi atas sebuah sikap yang mulai berubah.

Tidak pernah kuperkirakan sebelumnya, akan ada yang keenam. Dengan masih dalam sikap anti-kemapanannya, meskipun tatanan rambutnya sudah sedikit tertur, dia merajuk untuk dijemput di tempat biasa, di persimpangan jalan raya itu. Aku hanya bisa mengabulkan pintanya. Senja semakin tua hingga malam menghitam, tapi mereka membisu. Hanya dia yang bersua. Mencoba menumbuhkan kembali bunga-bunga yang entah sudah mati karena tidak ada pupuk yang menyuburkannya. Benar, sangat susah menghidupkan yang sudah hilang. Aku tidak mau mengganggu hidupnya lagi dengan kejadian yang sudah terjadi sebelumnya. Aku hanya ingin dia melanjutkan hidup yang sudah menjadi pilihannya, mempertahankan apa yang sudah dia punyai, tanpa aku. Itu akan lebih baik. Aku hanya berpesan, panggillah aku ketika ada sesuatu, bukan sebagai yang utama, tapi aku selalu ada.

Aku sudah membersihkan semua sisa-sisa tanaman yang mati dalam hamparan hati. Masih aku  biarkan hamparan itu bersih dengan ketenangan yang menyelimuti. Di saat kondisiku yang seperti itu, dia hadir untuk yang ketujuh. Tujuh, yang menjadi sebuah hal yang indah bagiku. Aku berharap dia juga sama. Tetap tenang dalam kekacauan pikirannya. Aku tetap berharap dia selalu menjadi dia. Tidak ada kata menyerah dalam kamusnya, terus melihat pertanda yang membentang di hadapannya, tetap menjaga keyakinannya dengan baik, selalu memberi solusi pada orang lain yang membutuhkannya, dan tidak akan berhenti pada satu titik yang membuat dia mati.

Yang ketujuh ini adalah yang paling singkat. Tapi, ini adalah yang terbaik. Tidak ada lagi perih tertinggal saat aku menatapnya. Namun, aku percaya, dia akan datang untuk yang kedelapan dengan sebuah berita yang berbeda. Entah yang mengejutkan atau yang biasa-biasa saja. Kalimat terakhirku, meskipun tidak ada lagi benang yang tersambung, aku hanya berharap ada benang tipis lain yang membuat aku dan dia tetap baik-baik saja. Batas kota ini dengan segala kenangan yang tertinggal telah di-maktubkan olehNya. Semua kisah akan punya akhir, tapi tidak untuk kisah yang kita buat sendiri.

Satu Jam dalam Renungan


Semalam aku tiba dirumah jam sembilan lebih. Jauh dari yang kuprediksikan. Setelahnya, tanpa makan malam, aku langsung mengambil air wudlu, sholat, dan pergi tidur. Meskipun aku masih ‘kepikiran’ tentang sikap ke-tidak profesional-an atas pekerjaanku, aku berusaha untuk tidur senyenyak-nyenyaknya. Dan berdo’a semoga hari esok diberi kelancaran oleh Tuhan.

Pagi itu, aku mendapat sms lagi dari Bos Besar. Aku tidak akan mengajar kelas IELTS periode 10 ini, tapi aku masih harus tetap masuk kelas beliau untuk mempelajari teknik pengajaran yang masih tergolong baru kujejaki. Sms kedua beliau masuk, berisi tentang materi pertama yang harus aku siapkan, dan juga harus ku foto copy pagi itu. Aku tidak mau menambah masalah, aku hanya membalasnya dengan OK SIR.

Aku tidak tidur lagi pagi itu, karena aku harus mandi lebih pagi dari biasanya dan menyiapkan materi. Sarapan pun juga terpaksa disuapin oleh ibu. Tapi, entah mengapa, sedini apapun aku siap-siap, tetap saja terlambat. Ditambah lagi satu masalah, motor yang susah dinyalakan. Lima belas menit sebelum jam tujuh, sebenarnya aku sudah siap dengan semuanya. Tapi, tidak dengan motorku. Dia membuatku lebih terlambat.

Aku mencoba berkali-kali men-starter dengan menggunakan kaki, hingga sepuluh menit lebih. Tapi, dia tetap tidak nyala. Allah... bagaimana ini?. Akan ada masalah lagi dengan bos besar setelah ini. Aku memanggil bapak untuk meminta bantuan, tapi tidak ada jawaban. Aku terus berusaha menyalakannya, dan akhirnya tetangga ku datang membantu.

Saat motor sudah mulai nyala, ada panggilan masuk. Mr. Andre. Astaghfirullah... Beliau lagi.  Belum selesai degup jantungku sisa kemarin, sekarang ditambah lagi. Ampun Tuhan...

‘Dimana kamu Had?’
‘Ini mau berangkat sir.’
‘Ya Allah Had, gimana to kamu. Sudah kamu fotocopy?’
‘After this sir.’
‘Lhoh, gimana to kamu ini. Kok belum dicopy. Bilang to dari tadi kalau kamu gak bisa datang pagi. Kalau gini kan saya jadi repot.’

Mati. Lengkap sudah.  Beliau benar-benar marah kepadaku. Ada panggilan lagi, Mr. Andre.
‘Udah Had, kamu nggak usah masuk aja.!!’

Nada suara beliau meninggi untuk yang terakhir ini. Aku sudah diatas motorku saat itu, dan berpikir tidak perlu pergi ke Elfast saja pagi itu, karena Mr. Andre pun sudah berkata demikian. Tapi, itu tidak akan menyelesaikan masalah, dan akan berakar menjadi problem yang besar jika aku tidak mengahadap secepatnya.

Aku tiba disana lima menit kemudian. Masuk ke kantor, dan menghadap beliau yang sedang mem-fotocopy materi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Intinya, aku sudah siap dimarahi. Dan, rentetan kalimat-kalimat nasihat beliau beradu di telingaku saat itu. Rasa capek, kecewa, marah, tidak paham atas sikapku, bercampur menjadi satu di diri Mr. Andre. Aku rasa maaf pun tidak bisa membantu atas kesalahanku. Ingin menangis didepan beliau, tapi air mata tidak keluar. Dan aku hanya bisa diam.

Duduk di kantor sendiri, instropeksi kesalahan-kesalahan yang telah kulakukan. Aku kira, sangat banyak sekali. Apalagi di mata bos besar ku. Mungkin salahku lebih banyak dari benarku. Aku tidak boleh masuk kelas beliau, saat ini dan seterusnya. Aku diam, berpikir, dan aku tidak tahu solusinya.

Yang terpikirkan hanya saru, aku memang tidak bisa terikat dengan aturan yang membuatku terkekang. Gilanya, aku malah ingin memutuskan keterikatanku dengan perusahaan itu secepatnya. Tapi, aku berpikir lagi, aku tidak akan mungkin melakukannya. Karena, aku masih punya tanggung jawab untuk membiayai kuliah ku sendiri. Tanpa pekerjaan ini, semuanya akan terbengkalai.

Disaat sendiriku hingga satu jam, istri Mr. Andre memanggilku ke ruangannya. Aku sangat senang melihatnya, begitu anggun dengan jilbab besarnya. Ketika beliau berbicara, terasa menenangkan. Bu Wirda berbasa-basi sejenak dan setelah itu menuju inti pembicaraan tentang masalah ku dengan Mr. Andre. Beliau menanyaiku apa yang terjadi. Dan saat aku mulai berbicara, air mataku tidak tahan lagi untuk terjun bebas. Aku menangis, aku mengadu kepada beliau atas kesalahanku.

Pada akhirnya, Bu Wirda menggaris bawahi atas sikapku. Meskipun tidak sering berkomunikasi, tapi beliau paham betul atas sikapku, yang terkesan easy going. Dari sudut pandang beliau, meskipun dalam kondisi paneng sekalipun, aku masih bisa tersenyum. Dan itu adalah hal positive. Tapi negativenya, ya seperti ini. Aku terkesan dadakan dalam melakukan apapun, tidak suka mempersiapkan segala sesuatu jauh-jauh sebelumnya. Itu menjadi baik ketika aku bisa mengatasinya, tapi menjadi hal yang fatal ketika aku terus menerus melakukannya.

Dari informasi beliau, ternyata Mr Andre juga mempunyai sikap yang sama sepertiku. Berpikir simple. Dan ketika simple dan simple disatukan, maka tidak akan bertemu. Malah akan menimbulkan masalah. Itulah titik temunya.

Satu pesan beliau, aku harus berbicara baik-baik dengan bos besar dan mencoba untuk merubah sikap yang terlalu santai ini. Karakter tidak mudah untuk dirubah. Dan begitupun dalam diriku. Karakter cuek dan easy going sudah terlanjur mengakar lama, lebih lama dari aku mulai memahami sikapku. Tapi, tidak ada cara lain untuk menjadi lebih baik, selain merubahnya pelan-pelan. Semoga Tuhan membantu.

Pintu ‘Ajaib’ Doraemon



Alangkah bahagianya kalau aku bisa punya pintu ‘ajaib’ layaknya doraemon. Dalam selangkah saja, sudah bisa berpindah tempat dari satu wilayah ke wilayah lain, sejauh apapun tempat itu. Dan aku akan sangat beruntung kalau saja mempunyainya. Tapi itu sangat mustahil terjadi. ‘Keajaiban’. Aku butuh itu sekarang, atau hal-hal yang bersangkutan dengan hal-hal ajaib lainnya, yang bisa membantuku tersadar atas segala sikapku selama ini, yang sangat tidak bertanggung jawab atas tugasku.

Sore kemarin, aku terbangun ditengan rintik hujan di kamar sempit kos mbakku di Surabaya. Telah kurencanakan sebelumnya, aku akan pulang ke Pare sore itu, sekitar pukul setengah empat. Tapi karena cuaca tidak bersahabat, mataku pun terpejam melalaikan waktu. Hingga akhirnya, ada panggilan masuk di HP nokiaku bertuliskan ‘ELFAST’, yang membuat mataku terbelalak seketika dan entah mengapa jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Pikiranku melayang kemana-mana sebelum aku mengangkat panggilan tersebut. Sempat terbersit, aku tidak perlu mengangkatnya. Karena kemungkinannya satu, aku diutus untuk pergi kesana segera.

Dengan kesadaran yang belum 100%, aku menerima panggilan itu. Dan benar saja, Bos Besar menyuruhku datang saat itu juga. Tidak boleh terlambat, ada rapat dadakan dan semua harus dikoordinasikan. Ingin pingsan kala itu, tapi aku tidak dapat berbuat apapun selain menjawab ‘IYA”. Semua barang bawaan aku masukkan tas ransel sekenanya. Mencuci muka, sholat ashar kilat, dan aku langsung berlari meninggalkan rumah kos mbakku menuju jalan besar melalui gang sempit. Dan ASTAGA!!!. Jalanan macet tiada tara.

Kulihat jam di HP ku, waktu menunjukkan pukul 16:45. Dan hujan juga seakan menghambat lari kecilku. Saat itu juga, aku segera mengirim pesan pada Bos Besar bahwasannya aku akan sangat terlambat karena masih di jalan.

Macet parah, tersebab kala itu adalah waktu jam pulang kerja, yang membuat banyak polisi berjajar di sepanjang jalan mengatur lalu lintas. Aku berdiri disebelah salah seorang polisi untuk menunggu bis kota. Tapi bis yang aku tunggu-tunggu tidak kunjung datang. Dan aku berpindah menuju tempat, yang sekiranya pak polisi tidak akan berteriak ketika angkutan berhenti, yang akan membuat jalanan lebih macet.

HP ku bergetar. Satu pesan masuk. Dari Mr. Andre (Bos Besar).
Tidak bisa nanti, yang penting sekarang.

Begitu sms yang dikirim beliau. Deg, bagaimana bisa?. Harus kes Elfast saat itu juga, padahal aku masih dipinggir jalan ditengah kemacetan kota Surabaya. Lalu, pesan kedua masuk. Saya tunggu jam 6.30 petang. Otakku terus berputar, satu setengah jam untuk perjalanan Surabaya- Kediri terlihat sangat mustahil. Ditambah nunggu bis, jalanan yang macet, plus ‘ngetem’. Allah... aku hanya butuh keajaibanMu saat itu.

Bis kota tidak segera muncul meski sudah 15 menit aku menunggu. Pada akhirnya, aku menghampiri seorang ibu yang kelihatannya juga menunggu hal yang sama. Aku bertanya, angkutan menuju Bungurasih. Dan, aku temukan keajaiban pertamaku saat itu. Ibu itu mengajakku naik angkutan umum atau Len. Alasannya, kalau nunggu bis kota, akan lebih lama lagi. karena itu, aku harus naik Len meskipun harus ‘oper’ lagi dengan Len lain. Beruntungnya lagi, ibu itu membayar ongkos naik angkutannya.

Hujan masih menemaniku menunggu bis di pintu keluar terminal Bungurasih. Kulihat jam lagi, pukul 17:45. Aku putus asa, dan degup jantungku belum berhenti, masih saja kencang. Hingga pilihan terakhirku, mengirim sms lagi kepada bos besar bahwa aku tidak akan bisa datang pada rapat tersebut. Sebagai resikonya, beliau akan menceramahiku panjang-panjang dan aku akan kehilangan kelasku di periode 10 besok. Tapi hanya dengan itulah, degup jantungku bisa mereda dan aku bisa menunggu bis PATAS tanpa terbebani dengan pikiran itu.

Sekitar 45 menit menunggu, bis PATAS muncul. Aku berharap perjalanan akan memakan waktu tidak kurang dari satu setengah jam. Tapi, entah ada angin apa, bis melaju sangat pelan dan tidak seperti biasanya. Aku memilih tidur saja, ditengah rasa bersalahku. Dan membuat perjalanan pulangku tidak terlalu menyiksa.

Tunggu saja, besok akan ada kejutan lain dari bos besar atas sikap tidak tanggung jawabku lagi. Dan aku rasa pintu ajaib doraemon seharusnya ada padaku saat itu, yang bisa membukakan pintu dari Surabaya ke Pare tanpa ada macet dan segala tetek  bengeknya.


Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Hadna Muthia Izzati
Pare, Kediri, Indonesia
A trainer | A traveler | A dreamer| An Ordinary girl
Lihat profil lengkapku

Ordinary's Friends

Blog contents © Ordinary Little Girl 2010. Blogger Theme by NymFont.