Semalam aku tiba dirumah jam sembilan lebih. Jauh dari
yang kuprediksikan. Setelahnya, tanpa makan malam, aku langsung mengambil air
wudlu, sholat, dan pergi tidur. Meskipun aku masih ‘kepikiran’ tentang sikap
ke-tidak profesional-an atas pekerjaanku, aku berusaha untuk tidur
senyenyak-nyenyaknya. Dan berdo’a semoga hari esok diberi kelancaran oleh
Tuhan.
Pagi itu, aku mendapat sms lagi dari Bos Besar. Aku tidak
akan mengajar kelas IELTS periode 10 ini, tapi aku masih harus tetap masuk
kelas beliau untuk mempelajari teknik pengajaran yang masih tergolong baru
kujejaki. Sms kedua beliau masuk, berisi tentang materi pertama yang harus aku
siapkan, dan juga harus ku foto copy pagi itu. Aku tidak mau menambah masalah,
aku hanya membalasnya dengan OK SIR.
Aku tidak tidur lagi pagi itu, karena aku harus mandi
lebih pagi dari biasanya dan menyiapkan materi. Sarapan pun juga terpaksa
disuapin oleh ibu. Tapi, entah mengapa, sedini apapun aku siap-siap, tetap saja
terlambat. Ditambah lagi satu masalah, motor yang susah dinyalakan. Lima belas
menit sebelum jam tujuh, sebenarnya aku sudah siap dengan semuanya. Tapi, tidak
dengan motorku. Dia membuatku lebih terlambat.
Aku mencoba berkali-kali men-starter dengan menggunakan
kaki, hingga sepuluh menit lebih. Tapi, dia tetap tidak nyala. Allah...
bagaimana ini?. Akan ada masalah lagi dengan bos besar setelah ini. Aku
memanggil bapak untuk meminta bantuan, tapi tidak ada jawaban. Aku terus
berusaha menyalakannya, dan akhirnya tetangga ku datang membantu.
Saat motor sudah mulai nyala, ada panggilan masuk. Mr.
Andre. Astaghfirullah... Beliau lagi.
Belum selesai degup jantungku sisa kemarin, sekarang ditambah lagi.
Ampun Tuhan...
‘Dimana kamu Had?’
‘Ini mau berangkat sir.’
‘Ya Allah Had, gimana to kamu. Sudah kamu
fotocopy?’
‘After this sir.’
‘Lhoh, gimana to kamu ini. Kok belum dicopy.
Bilang to dari tadi kalau kamu gak bisa datang pagi. Kalau gini kan saya jadi
repot.’
Mati. Lengkap sudah. Beliau
benar-benar marah kepadaku. Ada panggilan lagi, Mr. Andre.
‘Udah Had, kamu nggak usah masuk aja.!!’
Nada suara beliau meninggi untuk yang terakhir ini. Aku
sudah diatas motorku saat itu, dan berpikir tidak perlu pergi ke Elfast saja
pagi itu, karena Mr. Andre pun sudah berkata demikian. Tapi, itu tidak akan
menyelesaikan masalah, dan akan berakar menjadi problem yang besar jika aku
tidak mengahadap secepatnya.
Aku tiba disana lima menit kemudian. Masuk ke kantor, dan
menghadap beliau yang sedang mem-fotocopy materi. Aku tidak tahu apa yang akan
terjadi. Intinya, aku sudah siap dimarahi. Dan, rentetan kalimat-kalimat
nasihat beliau beradu di telingaku saat itu. Rasa capek, kecewa, marah, tidak
paham atas sikapku, bercampur menjadi satu di diri Mr. Andre. Aku rasa maaf pun
tidak bisa membantu atas kesalahanku. Ingin menangis didepan beliau, tapi air
mata tidak keluar. Dan aku hanya bisa diam.
Duduk di kantor sendiri, instropeksi kesalahan-kesalahan
yang telah kulakukan. Aku kira, sangat banyak sekali. Apalagi di mata bos besar
ku. Mungkin salahku lebih banyak dari benarku. Aku tidak boleh masuk kelas
beliau, saat ini dan seterusnya. Aku diam, berpikir, dan aku tidak tahu
solusinya.
Yang terpikirkan hanya saru, aku memang tidak bisa
terikat dengan aturan yang membuatku terkekang. Gilanya, aku malah ingin
memutuskan keterikatanku dengan perusahaan itu secepatnya. Tapi, aku berpikir
lagi, aku tidak akan mungkin melakukannya. Karena, aku masih punya tanggung
jawab untuk membiayai kuliah ku sendiri. Tanpa pekerjaan ini, semuanya akan
terbengkalai.
Disaat sendiriku hingga satu jam, istri Mr. Andre
memanggilku ke ruangannya. Aku sangat senang melihatnya, begitu anggun dengan
jilbab besarnya. Ketika beliau berbicara, terasa menenangkan. Bu Wirda
berbasa-basi sejenak dan setelah itu menuju inti pembicaraan tentang masalah ku
dengan Mr. Andre. Beliau menanyaiku apa yang terjadi. Dan saat aku mulai
berbicara, air mataku tidak tahan lagi untuk terjun bebas. Aku menangis, aku
mengadu kepada beliau atas kesalahanku.
Pada akhirnya, Bu Wirda menggaris bawahi atas sikapku.
Meskipun tidak sering berkomunikasi, tapi beliau paham betul atas sikapku, yang
terkesan easy going. Dari sudut pandang beliau, meskipun dalam kondisi paneng sekalipun, aku masih bisa
tersenyum. Dan itu adalah hal positive. Tapi negativenya, ya seperti ini. Aku
terkesan dadakan dalam melakukan apapun, tidak suka mempersiapkan segala
sesuatu jauh-jauh sebelumnya. Itu menjadi baik ketika aku bisa mengatasinya,
tapi menjadi hal yang fatal ketika aku terus menerus melakukannya.
Dari informasi beliau, ternyata Mr Andre juga mempunyai
sikap yang sama sepertiku. Berpikir simple. Dan ketika simple dan simple
disatukan, maka tidak akan bertemu. Malah akan menimbulkan masalah. Itulah
titik temunya.
Satu pesan beliau, aku harus berbicara baik-baik dengan
bos besar dan mencoba untuk merubah sikap yang terlalu santai ini. Karakter
tidak mudah untuk dirubah. Dan begitupun dalam diriku. Karakter cuek dan easy going sudah terlanjur mengakar
lama, lebih lama dari aku mulai memahami sikapku. Tapi, tidak ada cara lain
untuk menjadi lebih baik, selain merubahnya pelan-pelan. Semoga Tuhan membantu.