Hingga Ujung Waktu



Mengapa harus ada perpisahan kalau pertemuan selalu menyenangkan’

Sabtu malam 12 Oktober 2013 di RS Amelia

Mungkin waktunya sudah tiba. Batinku sangat yakin bahwa malam itu adalah ujung dari penjalanan hidup yang dia lewati. Menit-menit terakhir yang begitu menyiksa,dan aku merasakannya. Aku merasakan kehadiran berjuta makhluk yang tidak terlihat memenuhi kamar rumah sakit tempat dia berbaring lemah.

Apa yang bisa kami lakukan??. Bapaknya, ibunya, semua keluarganya termasuk aku berkumpul merapalkan do’a dan surat Yasin belasan kali. Tidak ada tawa lagi, semua bersedih dalam penantian yang begitu menyakitkan. Antara hidup atau mati...
***

Kedua kakak ku pulang dari Surabaya dan Sidoarjo, mbak Zidny dan mas Bahar. Hari itu memang hari libur cukup panjang karena Lebaran Idul Adha esoknya. Aku berencana untuk mengajak mereka makan di luar malamnya. Namun, aku teringat kalau salah satu keponakanku (Apin) sedang dirawat dirumah sakit. Hingga aku pun membatalkan niatku.

Apin saat berusia 8 tahun-an


Sebut saja Apin (Mohammad Adi Makayasa). Laki-laki yang masih bisa disebut bocah, dengan perawakan tinggi, berparas tampan, dan cukup kekar. Mungkin jika dia sehat dan bisa beraktifitas biasa, dia akan tumbuh menjadi pria yang disukai banyak gadis. Umurnya setara dengan siswa SMA kelas X, 16 tahun tepatnya. Namun, garis takdir berkata lain, dia tidak dapat menjalani masa-masa indah di SMA nya. Dia harus sabar dalam sakitnya dan tidak bisa beraktifitas seperti teman sebayanya.

Dia sudah sakit selama satu tahun lebih. Gejala awal penyakitnya sama seperti gejala cikungunya. Panas tinggi, hingga tidak bisa berjalan. Beberapa minggu menjalani perawatan hingga dia bisa berjalan kembali. Namun naas, satu hari saat dia ingin pergi ke kamar mandi, dia jatuh terpeleset. Sejak saat itu, kira-kira bulan Juli 2012, dia terbaring lemah dan tidak bisa berjalan kembali.

Diagnosa dokter berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa penyakitnya adalah penyempitan tulang belakang, ada yang bilang cingukunya, ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah guna-guna. Orang tuanya semakin bingung untuk meng-identifikasi apa penyakit sebenarnya. Sudah berkali-kali harus pindah untuk rawat inap dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lainnya di Jakarta. Namun, tidak ada banyak kemajuan.
Hingga orang tua Apin memutuskan untuk pulang kampung saja ke Pare dan dirawat disini. Lebih baik disini, dekat dengan keluarga dibanding ketika di Jakarta.

Perjalanan hingga mencapai 24 jam dengan mobil dari Jakarta menuju Pare adalah suatu perjalanan panjang yang melelahkan sekaligus menyakitkan bagi Apin. Selama itu dia tidak bisa menggerakkan anggota badannya karena harus terbaring mengikuti kemana mobil berjalan. Dengan kondisi yang tidak bisa melakukan apapun, dia harus menggunakan ‘pampers’ untuk menampung air kencingnya saat dia ingin buang air kecil. Aku bisa membayangkan itu akan sangat tidak nyaman karena lembab dan kotor.

Tiba di Pare, kondisi tetap sama. Apin tidak menunjukkan kemajuan dalam kesehatannya. Dan kami sadar, bahwa mulai saat itu dan seterusnya, bahwa dia butuh penanganan khusus layaknya bayi,dan itu adalah ujian baru bagi ibunya.

Beberapa hari setelah di Pare, ada gejala penyakit lain yang muncul. Karena perjalanan panjang yang dia lakukan sebelumnya, bakteri menyerang bagian pantatnya dan sela-sela pahanya hingga timbul luka-luka merah. Berjalannya bulan, luka itu semakin parah. Melebar dan membesar hingga membentuk sebuah lubang di bagian belakang tubuhnya, tepat pada bagian tulang ekor. Pernah sekali aku melihat luka pada bagian itu, terlihat tulang ekornya dengan jelas. Allah, sakit apa yang Engkau berikan pada adikku ini. Luka itu pasti menyakitkan. Tuhan, berikan dia kesabaran...

***

Tidak bisa berjalan, itu pada awalnya. Dan diagnosa dokter tidak ada yang yakin menyebutkan apa penyakit yang diderita oleh Apin. Oprasi, bukan jalan terbaik menurut orang tuanya. Hingga pada bulan-bulan berikutnya setelah tinggal di Pare, fokus bukan lagi pada bagaimana cara menyembuhkan kelumpuhan yang sudah diderita Apin selama berbulan-bulan. Namun, fokus sudah beralih pada bagaimana menyembuhkan luka pada bagian pantatnya yang semakin membesar.

Pengobatan medis dan non-medis pun sudah dijalani. Namun, kondisi tetap tidak berubah selama beberapa bulan lamanya, terhitung dari Juli 2012 hingga tiba pada bulan Oktober 2013.

***
Oktober, 2013

[ Mungkin aku adalah salah satu orang yang cukup sering menjenguk Apin dirumahnya, meskipun hanya sekedar bekata “Hai”. Dan satu hal yang kuingat ketika aku datang mendekatinya, bahkan setiap orang yang menjenguknya, adalah ketika dia meminta untuk diambilkan air minum. “Mbaaak, ambilin minuum...” ]

Sabtu malam minggu kedua bulan Oktober kali ini sangat kelabu. Aku harus terburu-buru pergi ke rumah sakit untuk mengambilkan buku Yasin karena Ibuku menelfon dan harus datang kesana secepatnya. Kondisi Apin sudah sangat memburuk.

Sejak sehari sebelumnya, dia terus saja mengeluarkan cairan hitam dari mulutnya. Itu semua berasal dari lambungnya yang terluka. Selang dipasang dihidung, dan terlihat cairan hitam juga keluar dari hidungnya. Aku tidak tega melihatnya ya Allah.

Cairan infus adalah satu-satunya pemasok energi bagi tubuh Apin. Dengan oksigen yang juga dipasang melalui selang pada mulutnya. Kata dokter, tidak boleh ada makanan atau minuman apapun yang masuk melalui mulutnya, karena Apin sudah tidak bisa lagi menelan makanan.

Setelah sholat magrib, aku mengajak masku Bahar, segera pergi ke RS. Hanya kurang dari sepuluh menit, kami sampai di kamar Anggrek 1 Amelia. Suasana kamar sudah begitu mencekam. Kulihat bapak dan ibunya merapal bacaan ayat Qur’an disamping telinga Apin.

Hatiku berdesir, aku  sangat tidak tega dengan keadaan Apin. Kubuka Qur’an yang kubawa dan segera kubacakan Yasin untuknya. Sesekali aku melihat kearahnya, kata ibuku dia sedang koma setelah beberapa saat sebelumnya kejang-kejang. Saat aku melihat, matanya dalam keadaan membuka meskipun koma, dan dia masih saja menggigit-gigit bibirnya, hingga terlihat darah keluar.

Alat pengukur dunyut nadi, masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Meskipun pada saat itu, aku merasa bahwa itu adalah akhir atau masa-masa naza’nya. Aku tidak henti merapal al-fatihah dan surat Yasin untuknya. Berikan yang terbaik menurut Mu ya Allah. Jika kematian adalah yang terbaik untuknya, berikan kemudahan untuknya Allah. Dan jika Engkau masih menginginkan dia disamping kami, sadarkan dia dan sembuhkan dia Allah...

Aku ingin menangis saja waktu itu. Sungguh aku tidak bisa membayangkan kalau aku berada dalam kondisi Apin, dalam pesakitannya yang teramat sangat, dan dia harus merasakannya seorang diri.

Kerabat lain segera berdatangan pukul 7 lebih setelah aku mengirim beberapa pesan. Pada saat itu, ibuku mengajakku untuk menunaikan sholat isya’ bersama bapak. Usai berdo’a, aku dan ibuku ingin beristirahat sejenak di emperan masjid RS. Dan kami berbincang singkat tentang kondisi Apin. Dan ibuku berkata bahwa kalau saja orang tuanya ikhlas atas semua kehendak Allah, pasti jalannya akan dipermudah. Setelah perbincangan singkat itu, adik Apin (Adam) memanggil kami dengan setengah berlari sambil menangis terisak-isak. Kami segera berlari menuju kamar. Diluar kamar, kerabat sudah berkumpul dan linangan air mata sudah membanjiri mata mereka semua. Aku tahu itu sudah waktunya.

Malam itu, tepat pukul 7.30, Allah mengambil nyawa adik kami tercinta, Apin. Aku yakin Allah mengambilnya dengan cara terbaik. Kulihat muka adik kami sudah memucat, dengan garis wajah yang sangat tenang. Aku melihat, tidak terlihat lagi pesakitan yang dirasakannya. Mungkin memang itu adalah jalan yang terbaik baginya.

Kami sadar, semua tidak mungkin lagi untuk kembali. Kami semua harus ikhlas melepas adik tercinta, Apin. Namun, kami sangat percaya bahwa Apin akan ditempatkan pada posisi terbaik di sisi Nya. Penyakit yang dideritanya selama setahun lebih akan menghapus semua dosanya, karena yang kami tahu dia sangat sabar dan jarang mengeluh atas kondisi yang dideritanya.

Rapalan do’a kami, kakak-kakak mu, adikmu, teman-temanmu, budhemu, pakdhemu, ibumu, bapakmu, kakekmu, nenekmu, dan semua kerabat akan selalu mengalir untukmu, yang tercinta, Apin. Tersenyumlah dan tenanglah disana. Kami akan selalu bersamamu, dalam kenangan yang sudah terekam dalam memori, dalam angan-angan yang terekam dalam ingatan, dan senyumanmu yang selalu mengingatkan kami tentang ketabahan dan kesabaran.
Apin, terbaring lemah di RS di Jakarta. Namun senyumnya masih mengembang :)

Untuk adik kami tercinta, kami selalu merindukanmu.

Purnama di Jogja


Pundakku diguncang-guncang oleh seseorang yang duduk disampingku. Sudah hampir delapan jam aku tidur terlelap. Hanya sesekali bangun ketika aku harus berganti posisi dudukku di atas bis ‘Sumber Selamet’ (yang dulu dikenal dengan ‘Sumber Kencono’), yang membawaku ke kota Jogjakarta di minggu ketiga bulan Syawal kemarin.

‘Udah nyampek Na’, begitu ucap mbak Novi, teman yang pergi bersamaku.

Akhirnya, sampai juga, batinku. Punggung terasa kaku dan pegal. Duduk tepat dibawah AC bis yang cukup dingin, dengan kondisi dalam bis umum yang berjubel dengan orang, serta supir yang cukup ugal-ugalan, membuatku sedikit kesal dengan perjalanan kali itu. Terasa capek pake banget. Perutku mual tapi tidak bisa muntah. Bah, tidak enak sekali rasanya.

Aku sedikit lega, ketika memasuki terminal Giwangan. Aku segera menuju masjid, bukan untuk sholat, tapi untuk buang air kecil. Karena aku memang sedang mendapat jatah ‘libur’ kala itu, jadi aku bisa menikmati masa singkat menunggu mbak Novi yang sedang sholat dengan duduk di emperan masjid, sembari menetralkan kembali rasa terguncang-guncang akibat naik bis.

Entah, aku tidak tahu apa tujuanku melakukan perjalanan jauh kali ini. Aku berpikir lagi, dan terus berpikir. Mengapa aku tiba-tiba memutuskan untuk pergi ke Jogjakarta, yang awalnya tidak kurencanakan sama sekali di list jalan-jalanku. Mungkin juga ini adalah ungkapan kekesalanku.

Memang, ada beberapa alasan hingga akhirnya aku tiba juga di kota ini. Alasan terbesarnya adalah karena aku gagal merealisasikan mimpi touring-ku, yang sudah aku dan teman-temanku rencanakan jauh-jauh hari.
Dan alasan kedua adalah penolakan halus dari teman lamaku untuk bertemu. Padahal nyatanya, kami tidak pernah bertemu selama dua tahun terakhir, namun dia tidak ada tekat yang besar untuk setidaknya menyempatkan satu hari saja bertemu.

Mengapa kesenangan-kesenangan yang seakan bisa tercipta dengan jelas luntur dengan perlahan-lahan hanya karena tidak ada keserasian, sebut saja resonansi. Ini yang membuatku pergi hingga sejauh ini, hingga ke Kota Jogjakarta.

Mbak Novi lagi-lagi membuyarkan lamunanku. Dia sebenarnya juga bertanya-tanya mengapa aku mendadak ingin ikut pulang bersamanya?. Jawabku hanya simple, pengen maen aja kerumah sampean. Padahal itu hanya alibi agar aku tidak menyesal dengan diam ku di rumah.

Dia juga bertanya kepadaku, pengen pergi kemana. Aku juga tidak tahu tujuan yang jelas. Dan aku hanya bisa menjawab dengan pasrah, ikut sampean aja mbak. Padahal aku sangat membenci hal itu, ketika aku berpergian, tidak tahu tujuan.

Tapi aku tahu keinginanku, satu yang aku inginkan saat itu, pergi melihat dan mendengar debur ombak pantai selatan. Itu saja cukup. Sayangnya, senja sudah terlalu petang. Dan pantai selatan mungkin hanya di mimpi saja.

Kesal, pasti. Capek, sudah sejak di atas bis. Tapi aku tidak mau hal itu terlihat oleh mbak Novi, yang sudah bersedia membawaku bersamanya hingga Ke Jogja. Aku tidak akan merepotkannya dengan muka yang tertekuk, dan perasaan yang sebenarnya aku rasakan.

Dia membawaku menuju arah barat, Kulonprogo, kampung asalnya. Dengan motor Supra bututnya, aku menikmati dinginnya Jogja, sekali lagi. Aku mencoba untuk tersenyum dan mencoba bersahabat dengan keadaan. Malam itu ternyata sangat indah. Hanya saja aku tidak menyadarinya karena terlalu menggerutu dengan keadaan.

Dan juga, bulan di langit sungguh memesona. Mengapa tidak kusadari dari tadi?. Ternyata, perjalanku kali ini tidak seburuk yang aku pikirkan. Aku hanya perlu sedikit menghilangkan rasa kesal, dan merubahnya dengan rasa kagum. Mungkin, itu cukup untuk membuat keadaan lebih baik.

Dewasa, Katanyaa...



Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan’, kata orang seperti itu.

Dewasa, mungkin belum semua orang mengalami fase ini. Karena ada berbagai macam kriteria untuk bisa disebut menjadi dewasa (katanya).

Kenapa saya tiba-tiba ingin menulis tentang ukuran kedewasaan?. Karena beberapa hari ini saya selalu kepikiran akan obrolan orang-orang yang katanya sudah ‘dewasa’ di tempat kerja saya tentang arti dewasa itu sendiri.  Mereka berbondong-bondong menilai mana yang sudah dewasa dan mana yang belum dewasa.

Mungkin usia bukanlah ukurannya, karena memang di tempat saya mengajar, usia rekan kerja saya sangat beragam. Mungkin yang termuda 18 tahun hingga usia matang 40 tahun lebih. Dan kami berada dibawah satu naungan dan harus berkerja bersama-sama.

Kalau bukan usia ukurannya, lantas apa?.

Suatu hari di dalam kantor, saya dan beberapa staf pengajar sedang berkumpul di ruang guru untuk sekedar berbincang-bincang ringan di waktu senggang. Obrolan kami ngalor-ngidul hingga menyangkut hal yang lebih spesifik, yaitu tentang siapa yang sudah dewasa, siapa yang belum.

Kali ini, yang menjadi pembicara pasti yang sudah berusia matang, dan kebetulan sudah menikah. Beliau menilai masing-masing dari kami, yang masih ‘muda’, katanya. Dilihat dari beberapa pendekatan, memang tidak ada salahnya menilai seseorang jika itu berkaitan dengan kebenaran. Tapi, apapun hasil dari penilaian tersebut, kami dilarang ngambek atau marah, karena itu hanya sekedar penilaian, yang bisa saja benar bisa saja salah.

Dimulai dari Miss Novi, sebut saja begitu. Usianya lima tahun diatasku. Pembawaannya kalem, tenang, dan sangat keibuan. Lantas, penilaian yang pas untuk ukuran dia adalah sudah dewasa, begitu kata Mr. Shon. Aku setuju saja akan hal itu. Dan mengapa aku harus menyangkal?.

Menuju ke orang ke-dua. Mr Shon memilih miss Pipi. Usianya sama dengan miss Novi, sekitar seperempat abad. Tapi beda orang, beda penilaian. Disini, aku bisa menemukan contoh bahwa seusia bukan berarti sudah mencapai tingkat kedewasaan yang sama pula. Hhhmm, rumit juga kalau semua orang sudah dewasa, terkesan serius nanti bawaannya. Hehe.

Saya tidak mau ketinggalan. Selanjutnya dengan semangat, saya bertanya.

‘Bagaimana dengan ku Mr Shon?’.

Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan, beliau berdecak dan berkata, ‘Anak muda jaman sekarang, ya kayak kamu itu Hadna. Sukanya maen, kalau ada masalah santai. Kamu itu masih jauh dari panik, bahkan kenalan aja belum sama yang namanya ‘gupuh’. Sudah Hadna, kamu itu masih jauh. Jalan kamu masih panjang. Jangan terburu-buru dulu buat jadi dewasa. Nikmati saja masa-masa mu. Dan kayaknya kamu memang benar-benar menikmatinya, dan gak mau ninggalin fasemu saat ini. Kamu itu traveling aja. Nanti kalau udah waktunya, kamu juga dewasa.’

Saya berteriak riang, bukan malah kecewa dibilang belum dewasa. Malah aku sangat mengamini kata-katabeliau. Mr Shon benar, saya sangat menikmati masa-masa ini. Beliau memang dukunnya Elfast. Tau semua tentang kami, yang lebih muda dari beliau.

Untuk usia saya yang masih beranjak dua puluh-an, fase yang nge-trend disebut dengan ‘ababil’ memang masih banyak melekat dalam diri saya. Masa-masa transisi ini kadang yang membuat sikap saya berubah-ubah, kadang sedih, marah, atau bahagia. Dan didalam fase ini, saya sangat menikmatinya. Saya tidak ingin meninggalkan terlalu cepat masa-masa ini. Saya rasa hidup ini sangat indah jika diwarnai dengan berbagai macam kejadian-kejadian dari sikap labil kita. Hehe.

Kadang saya berpikir untuk menjadi dewasa dengan bersikap sama seperti dia, atau dia. Harus bersikap begini, tidak boleh begitu. Tapi tidak untuk saat ini, saya adalah saya. Saya bisa menikmati hidup dengan cara sendiri. Entah itu harus disebut dewasa atau masih ababil bahkan kekanak-kanakan. Harusnya, saya tidak harus pusing dengan penyebutan itu semua. Selama saya bisa bertanggung jawab atas hidup saya dan saya tidak merugikan orang lain, masih penting kah predikat itu semua?.


Circadian Rhythm




Circadian Rhythm, sebuah teori tentang cara mengatur waktu individu atau bisa juga disebut dengan Personal Time Management. Teori ini aku dapat dari materi atau soal reading yang ada di kelas IELTS. Kebetulan, beberapa periode terakhir ini, mungkin sudah sekitar 6 periode aku meng-handle program tersebut, IELTS. Dan direktur utama atau sang guru besar menugaskan kepadaku untuk mengajar materi reading dan listening. Sangat baru sekali ketika aku harus bersentuhan dengan mereka.

Tidak dipungkiri, tugas ini cukup berat untuk ukuran pengajar junior sepertiku yang belum banyak makan asam garam dalam dunia tersebut. Aku tidak banyak menolak ketika aku harus datang setiap saat ke ELFAST untuk briefing materi yang diajarkan. Setiap malam selama dua pekan lamanya.

Penugasan ini adalah tanggung jawab baru bagiku. Entah, seperti apa sikapku ketika aku berhadapan dan berdiri didepan orang yang lebih matang dari diriku sendiri. Karena kebanyakan dari mereka yang mengambil program ini, adalah orang-orang yang mempunyai ekpektasi yang tinggi. Lulusan universitas negeri dari seluruh penjuru negeri menjadi satu dalam satu kelas ini, dengan tujuan utama adalah melanjutkan pendidikan mereka, S2 atau S3 di luar negeri. Ekspektasi yang tinggi, itu adalah mereka. Tidak jarang pula, mereka mencoba bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan sulit, diluar jangkauanku. Tapi, itulah guna materi yang diajarkan di IELTS ini, teori Circadian Rhythm.

Aku banyak belajar tentang bagaimana bersikap dan menghadapi berbagai persoalan lewat kutipan dalam satu bacaan tersebut. ‘We can train ourselves to be proactors by taking the time to sit down and assessing the immediate future and past’. Dalam artian, bermuhasabah tentang apa yang akan datang dan apa yang telah terjadi dalam hidup kita. Mengevaluasi semua kesalahan dan mulai memperbaiki sedikit demi sedikit. Begitu intinya, dengan tujuan kita bisa menjadi manusia yang proactors, manusia yang disebut dengan the right man in the right place.

Kesalahan-kesalahan yang sering kulakukan di awal penugasan ini, menjadikanku semakin mengerti bagaimana seharusnya mengatur waktu, tidak terledor dalam bertindak, dan semakin mengerti bagaimana seharusnya bersikap dengan baik dan tepat. Intinya, bagaimanapun yang terjadi, tetap tenang. Keep calm, and everything will be alright!!!

My Last Night in Super Camp

This is the last night, the last day, and the last moment for me with them.

It's been about a month. In this new camp, called BSK, I stayed with all students from Babakan-Tegal. I decided to stay again in camp after I took a break about two months because I got a few problems with my big boss. In this holiday time, I tried to decrease my selfishness to accept the duty given to me. Finally, I accomplished my job. I'm free tonight.

There is meeting there is farewell. That's the fact. We can't avoid it. Even though we are struggle to make it happens, the fate must be accepted gratefully.

So, the past always becomes the memories. And the memories can't be forgotten easily. Just make the time as good as possible. Keep smile!!! :)

Me, Ms Iim, Ms Chaca, Ocha

Miraculous Mirror in the room



Love as always



The Orange 
~BSK tonight~


When I'm Alone

From now and later, I just want to try to make my gloomy day becomes better and better.
That's my promise.
And I'll erase the bad memories what I've done that make me moody. 
May God always helps and blesses me.
***

Last night, in the middle of pouring, on Saturday night,
I only stayed in my room and did nothing.
Suddenly, my feeling of 'narsis' appeared.
I took my camera and wore my 'hijab'.
That's nice. I feel free and can forget what I always think, 'about him'.


This is me.




That's it. At least, my unimportant activity can fulfill my gloomy day.....
-hadnamuthia-

Space


“Aku tidak mau mengganggu hidupnya lagi dengan kejadian yang sudah terjadi sebelumnya. Aku hanya ingin dia melanjutkan hidup yang sudah menjadi pilihannya, mempertahankan apa yang sudah dia punyai, tanpa aku. Itu akan lebih baik. Aku hanya berpesan, panggillah aku ketika ada sesuatu, bukan sebagai yang utama, tapi aku selalu ada.” (20 April 2013)

Firasat itu selalu benar. Namun, mengapa malah diri sendiri yang menyalahi semua firasat itu?. Mengapa aku harus berpura-pura untuk melupakan sesuatu apa yang sudah menjadi janjiku?. Kenapa harus aku sendiri yang melakukannya?.

Firasat yang kutulis dalam beberapa kalimat beberapa saat yang lalu mungkin benar adanya. Dan aku tidak bisa memutar keadaannya. Aku tidak akan bisa bagaimanapun caranya.

Aku tidak terlalu mengerti akan sikapku sendiri. Mengapa aku seperti ini?. Mengapa aku tidak bisa untuk setidaknya selalu menjaga apa yang sudah aku perkirakan sebelumnya?. Aku terlalu polos untuk itu semua. Atau mungkin aku terlalu bersikap masa bodoh. Aah,, aku tidak mengerti.

Dalam sikap ketidak-mengertian ku ini, mengapa seolah-olah tidak ada yang menyadarkanku. Memberi pengertian kepadaku. Hingga aku melangkah dan melanggar firasatku. Seharusnya, aku tidak boleh terlibat didalamnya. Mengapa aku tetap berjalan tanpa ada kontrol dan semua yang sudah kupikirkan sebelumnya benar-benar terjadi?.

Mungkin aku harus menyadarkan diriku sendiri. Karena mungkin tidak akan pernah ada seseorang yang melakukannya. Aku tidak bisa menunggu siapapun untuk melarangku, kecuali aku sendiri. Ya, aku sendiri.

Baiklah, berjalanlah seperti yang pernah aku katakan sebelumnya. Aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi.
Semoga saja aku benar-benar bisa dan kuat untuk menyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa. Aku bisa untuk itu. Meskipun kamu tahu, aku sangat susah untuk itu. Telah hampir sepuluh bulan aku mencobanya. 
Namun, kamu tahu. Nihil... Gagal. Aku masih aku yang dulu. Aku masih aku yang tidak bisa membagi pada yang lain saat aku sudah memilih untuk itu. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk menguatkan diriku sendiri bahwa aku bisa.

Mungkin hanya satu alasan untukku agar aku bisa meyakinkan diriku sendiri. Kamu telah memilih seseorang dan aku tidak berhak untuk pilihanmu itu. Aku tidak berhak akanmu.

Aku akan berjalan terus dan aku harap kamu juga terus berjalan dengan apa yang sudah ada ditanganmu. Pertahankan apa yang sudah kamu miliki.

Aku akan berhenti atas apa yang sudah aku pertahankan. Meskipun kenyatannya sangat susah, sakit,  dan mungkin semua itu akan membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Tapi, mungkin saja apa yang aku baca tadi pagi benar adanya. Setiap rasa mempunyai batas. Dan pada batas tertentu rasa itu akan kehilangan nilainya sendiri. Semoga saja itu benar, dan aku hanya butuh waktu saja.

Aku beruntung, sering mendengar curhatan orang yang selalu galau dan galau. Setidaknya, aku bisa memaknai masaku sekarang. Aku bisa menikmati pesakitan dengan tetap berjalan di atas rasa sakit tersebut. Aku akan menikmatinya, sampai kamu mengerti atas apa aku rasakan. Dan mungkin saja itu akan menghentikanku, jika demikian pula maumu.

Masih, aku perlu kamu untuk meyakinkanku bahwa aku benar atas semua pilihanku. Aku perlu kamu untuk meyakinkan bahwa aku tidak salah bahwa aku harus berhenti sampai disini... (meskipun aku tidak ingin untuk itu)
(Needs the reply soon)

Kau Yang Mengutuhkan Aku


Tulisan ini adalah tentang seorang penulis yang postingan dalam blog-nya selalu kuikuti selama beberapa bulan terakhir. Sebut saja Fahd, penulis berusia 26 tahun yang sudah menulis beberapa buku dan novel yang beberapa diantaranya ditulis dengan musisi Bondan n Fade 2 Black. Dan aku sekarang nge-fans sekali dengannya.

Memang, aku belum pernah membaca satu pun buku Fahd. Tapi dari tulisan di blog nya, aku langsung jatuh cinta dengannya. Bukan orangnya, melainkan rangkaian kata-katanya. Toh, kalau saja aku jatuh cinta dengan orangnya, itu sangat tidak mungkin. Dia sudah beristri. Dengan orang berkebangsaan Sunda yang sangat geulis, sebut saja Rizqa. Mereka menikah dan dikarunai seorang anak yang sangat tampan pula, Kalky.

Kadang tulisannya membuatku iri saja. Betapa indah dan romantis tulisannya saat ditujukan ke istrinya tercinta. Tidak hanya satu tulisan. Mungkin sepuluh bahkan lebih, postingan tentang dia dan juga istrinya. Dari awal mereka berkenalan, lamaran, menikah, problem keuangan, anak pertama mereka, keharmonisan kehidupan sehari-hari, hingga saling melontarkan beberapa pujian diantara keduanya.

Positive-nya, mungkin banyak orang yang akan terinspirasi dengan keharmonisan rumah tangga yang terjalin diantara mereka. Karena kalau dipikir-pikir memang itu adalah contoh yang baik sekali untuk pasangan muda yang sedang mengalami masa-masa awal pernikahan. Rasa sabar, saling memahami, dan juga pengertian. Tapi disisi lain, negativenya ada juga. Apa coba?. Ya buat yang masih melajang, itu sangat membuat iri pake banget. Disaat sedang galau dan membaca tulisan Fahd, rasanya ingin sekali berada dalam posisi yang sama. Tapi, apa mau dikata, hanya menerawang saja yang memungkinkan.

Aku sangat menyukai tulisan Fahd yang berjudul Tiga, Foto, dan masih banyak lainnya. Mengenai tulisannya, memang tidak perlu diragukan lagi, menyentuh dan keren tingkat tinggi. Namun, ada beberapa karya lain darinya. Karya yang disebut ‘Revolvere Project’. Video pendek yang digabung dengan iringan instrument dan juga rangkaian kata-kata. Ada satu yang menjadi favoritku, ‘Revolvere Project – Kau Yang Mengutuhkan Aku’. Mungkin gambaran tentang kondisi yang terjadi. Intinya, I Love It.

‘Mimpi’ Itu


Mengapa harus yang terakhir?. Kalau kamu bisa menjadikan itu yang kesekian kalinya dan akan berlanjut dan terus berlanjut. Jujur, aku tidak mau kamu berhenti sampai disitu. Itu harapku.

Namun, pikiran aneh itu selalu membayangi. Disebut dengan posisi apa, kalau aku terus berada dalam kondisi ini?. Apakah aku salah?. Tapi aku merasa tidak melakukan kesalahan. Aku hanya berjalan sesuai apa yang terjadi. Tidak ada paksaan dari diri, itu alami. Tapi, apakah itu wajar?.

Aku tahu kamu mungkin mengetahui apa yang sedang aku pikirkan. Hanya saja, kamu lebih menikmati posisimu saat ini. Di waktu yang bersamaan pula, aku selalu berharap akan ‘mu’. Tapi kontrolku lebih besar untuk itu. Aku bisa saja memasang topeng bahwa aku baik-baik saja. Aku masih bisa berjalan dengan langkah yang tenang. Dan aku memang merasa bahwa aku benar-benar baik, saat kamu disini.

Disisi lain, aku juga selalu teringat akan janji pada diriku sendiri, juga padamu. Aku akan melanjutkan dan berusaha atas apa yang kusebut dengan ‘mimpi’. Dengan cara tidak masuk dalam putaran yang membuat konsentrasiku akan terpecah. Tidak untuk orang lain, dan yang paling berat tidak pula untukmu.

Mungkin aku akan selalu menyertakan Tuhan demi ‘mimpi’ itu. Semoga saja Dia paham atas hambaNya. Begitu pula diriku sendiri, dan juga kamu.

Do’aku Masih Saja Kamu


Tulisan ini ingin aku awali dengan megucap, apa kabar?. Apa kabar kamu yang disana?. Mungkin saja kamu baik-baik saja. Dan aku berharap kamu akan selalu baik dalam kondisi apapun. Hal itu menjadi rapalan do’a yang selalu kudengungkang. Karena Tuhan Maha Pendengar kan?.

Aku percaya akan do’a dan kekuatannya. Yang mampu menjadikan yang lemah menjadi kuat, yang mampu membuat keyakinan semakin bertambah, yang membuat sesuatu yang kita sebut ‘mimpi’ akan menjadi lebih dekat, yang mampu memberi ketenangan dalam ketegangan, yang menjadikan diri dari biasa menjadi luar biasa, yang dapat meluluhkan hati yang keras menjadi lunak, yang memberi suatu energi yang tidak terbatas, dan yang mampu mengalahkan segala ketakutan yang menghadang.

Mungkin ada banyak hal yang membuat orang tidak percaya akan kekuatan do’a. Tersebab do’a yang selalu diucapkan tidak kunjung dikabulkan, atau mungkin juga tersebab tidak ada perubahan, meskipun telah berdo’a sepanjang malam.

Sebenarnya, itu semua hanya butuh waktu. Ya, itu saja. Karena Tuhan tidak akan memberikan segala permintaan umatnya secara serta merta, kan?. Mungkin saja setelah meminta, Tuhan langsung memberi, atau sebulan kemudian, mungkin juga setahun kemudian, atau lima tahun, mungkin juga sepuluh tahun, atau malah tidak diwujudkan sama sekali oleh Tuhan?. Untuk yang terakhir, Tuhan tidak akan pernah lalai dan lupa. Dia akan selalu mendengar semua pinta dari hambaNya, jika tidak didunia, maka akan diganti diakhirat. Benar begitu?.

Meskipun do’aku sederhana, setidaknya aku tidak pernah melewatkannya barang sehari pun. Didalam rentetan do’a yang aku rapalkan, tak pernah lupa kuselipkan kamu didalamnya. Tentang kondisi, kesehatan, kekuatan, segala kelancaran akan hidupmu dan semua pengharapanmu. Tak lupa aku sisipkan rapalan do’a akan secercah ‘mimpi’ yang selalu membayangi. Mungkin saja Tuhan sedang berbaik hati dan langsung mengabulkan beberapa permintaan hambaNya yang rewel ini.

Kalau pun tidak, aku akan tetap menunggu. Tidak ada salahnya menunggu untuk sebuah hasil dan sesuatu yang menakjubkan, apalagi yang bisa membuat hidup semakin hidup. Aku tidak akan pernah lelah menunggu. Menunggu jawaban atas do’a yang kurapalkan.

Yang Ketujuh di Batas Kota Ini



Aku menunggu saat itu. Dimana secara tidak langsung, aku benar-benar sadar bahwa aku memang menunggu. Meskipun kadang aku menolak untuk itu. Tapi aku ingin mengukir kisahnya menjadi sebuah rangkaian yang akan selalu dikenang, atau hanya dilupakan begitu saja seiring berjalannya waktu.

Dan yang ketujuh, akhirnya tiba. Tidak bisa kupungkiri lagi, dia memang hadir untuk yang ketujuh kalinya. Tujuh, angka yang menurutku pribadi adalah sebuah keajaiban. Tujuh, angka untuk keajaiban dunia, angka untuk lapisan langit, dan tujuh untuk angka yang paling istimewa bagiku.

Mungkin yang ketujuh, akan menjadi yang paling berkesan, aku telah berharap sebelumnya. Mungkin juga yang ketujuh ini akan menjadi sebuah isyarat baik, atau berbagai kemungkinan yang berkaitan dengan keberuntungan lainnya. Hanya pengharapan, sebenarnya. Baiklah, sebelum hadir yang ketujuh, ada enam hal lain yang terjadi sebelumnya memang. Dengan berbagai kejadian dari waktu yang terus bergulir, menjadi sebuah rangkaian kenangan hingga tibalah puncaknya, yang ketujuh. Di batas kota ini, dia selalu menyebutnya begitu, dari pertama hingga yang terakhir.

Untuk pertama kali kunjungannya di batas kota ini, sudah lama sekali. Bahkan aku lupa kapan tepatnya. Aku tidak tahu dan tidak ada rencana apapun untuk menyambut kehadirannya. Hanya satu hal yang aku punya, sebuah hal sederhana yang tidak akan pernah hilang dari diriku. Sebuah ‘senyuman kecil’, mungkin itu hal yang berharga bagiku. Mungkin juga orang lain yang bersamaku. Hingga aku sadar, betapa indahnya jika senyuman selalu mengembang di balik semua kebahagiaan maupun kesedihan. Tapi, mungkin dia masih tidak memahami atas sikapku yang tidak dapat diperkirakan, apalagi untuk yang pertama.

Kali kedua kehadirannya, masih di tahun yang sama. Dengan gaya anak muda jaman sekarang yang anti-kemapanan, dengan sepasang sandal sederhana, dia melangkah lagi di batas kota ini. Bedanya, aku bersamanya menaiki bis antar kota di tengah derasnya hujan, dengan berteduh di kantor polisi sebelum mendapat bis terakhir menuju batas kotaku. Senyumku masih saja mengembang kala itu, dan ada satu hal lagi yang mulai mekar dan ikut tersenyum. Mungkin karena waktu yang berjanji akan semua yang terjadi, sebuah hati yang mulai terbuka dengan senyum yang juga mengiringinya.

Semua pria akan luluh dengan satu hal, rengekan atau tangisan. Untuk ketiga kalinya, aku benar-benar tidak sadar melakukan itu semua. Aku pikir itu hal yang bodoh. Dengan sebuah panggilan ayng lebih tepatnya bisa disebut paksaan, dia akhirnya melangkah lagi dan merasakan malam-malam di batas kota ini, di bulan yang sama. Aku benci penyesalan. Hingga aku bisa memaafkan sikapku yang berlebihan padanya.

Melepaskan seseorang lebih terasa sakit dibanding meninggalkan seseorang. Begitu kesimpulan yang bisa aku petik di kehadirannya yang keempat, setelah berpuluh-puluh malam berlalu. Mungkin jika bisa dilihat dengan jelas, hati yang sebelumnya kosong, sudah terisi penuh dengan bunga yang bermekaran dalam beberapa waktu yang berlalu. Tapi, di yang keempat ini, entah mengapa dia seakan membabat pelan-pelan yang sudah tumbuh. Dan aku hanya bisa diam dalam keheningan. Dan mulai menyadari, betapa berharganya hamparan hati itu untuk ditumbuhi bunga-bunga dari orang lain, bukan hanya seorang saja.

Yang kelima kehadirannya, dia datang bersama salah seorang kenalannya. Meskipun aku masih bisa mengembangkan senyumku, tapi aku benar-benar tidak mengaharapkan kedatangannya, sama sekali. Tanaman yang tumbuh itu sudah tiga perempat hilang, meskipun masih ada seperempat lainnya. Sudah cukup untuk menumbuhkan yang sudah mati. Dan malam pun tetap menjadi saksi atas sebuah sikap yang mulai berubah.

Tidak pernah kuperkirakan sebelumnya, akan ada yang keenam. Dengan masih dalam sikap anti-kemapanannya, meskipun tatanan rambutnya sudah sedikit tertur, dia merajuk untuk dijemput di tempat biasa, di persimpangan jalan raya itu. Aku hanya bisa mengabulkan pintanya. Senja semakin tua hingga malam menghitam, tapi mereka membisu. Hanya dia yang bersua. Mencoba menumbuhkan kembali bunga-bunga yang entah sudah mati karena tidak ada pupuk yang menyuburkannya. Benar, sangat susah menghidupkan yang sudah hilang. Aku tidak mau mengganggu hidupnya lagi dengan kejadian yang sudah terjadi sebelumnya. Aku hanya ingin dia melanjutkan hidup yang sudah menjadi pilihannya, mempertahankan apa yang sudah dia punyai, tanpa aku. Itu akan lebih baik. Aku hanya berpesan, panggillah aku ketika ada sesuatu, bukan sebagai yang utama, tapi aku selalu ada.

Aku sudah membersihkan semua sisa-sisa tanaman yang mati dalam hamparan hati. Masih aku  biarkan hamparan itu bersih dengan ketenangan yang menyelimuti. Di saat kondisiku yang seperti itu, dia hadir untuk yang ketujuh. Tujuh, yang menjadi sebuah hal yang indah bagiku. Aku berharap dia juga sama. Tetap tenang dalam kekacauan pikirannya. Aku tetap berharap dia selalu menjadi dia. Tidak ada kata menyerah dalam kamusnya, terus melihat pertanda yang membentang di hadapannya, tetap menjaga keyakinannya dengan baik, selalu memberi solusi pada orang lain yang membutuhkannya, dan tidak akan berhenti pada satu titik yang membuat dia mati.

Yang ketujuh ini adalah yang paling singkat. Tapi, ini adalah yang terbaik. Tidak ada lagi perih tertinggal saat aku menatapnya. Namun, aku percaya, dia akan datang untuk yang kedelapan dengan sebuah berita yang berbeda. Entah yang mengejutkan atau yang biasa-biasa saja. Kalimat terakhirku, meskipun tidak ada lagi benang yang tersambung, aku hanya berharap ada benang tipis lain yang membuat aku dan dia tetap baik-baik saja. Batas kota ini dengan segala kenangan yang tertinggal telah di-maktubkan olehNya. Semua kisah akan punya akhir, tapi tidak untuk kisah yang kita buat sendiri.

Satu Jam dalam Renungan


Semalam aku tiba dirumah jam sembilan lebih. Jauh dari yang kuprediksikan. Setelahnya, tanpa makan malam, aku langsung mengambil air wudlu, sholat, dan pergi tidur. Meskipun aku masih ‘kepikiran’ tentang sikap ke-tidak profesional-an atas pekerjaanku, aku berusaha untuk tidur senyenyak-nyenyaknya. Dan berdo’a semoga hari esok diberi kelancaran oleh Tuhan.

Pagi itu, aku mendapat sms lagi dari Bos Besar. Aku tidak akan mengajar kelas IELTS periode 10 ini, tapi aku masih harus tetap masuk kelas beliau untuk mempelajari teknik pengajaran yang masih tergolong baru kujejaki. Sms kedua beliau masuk, berisi tentang materi pertama yang harus aku siapkan, dan juga harus ku foto copy pagi itu. Aku tidak mau menambah masalah, aku hanya membalasnya dengan OK SIR.

Aku tidak tidur lagi pagi itu, karena aku harus mandi lebih pagi dari biasanya dan menyiapkan materi. Sarapan pun juga terpaksa disuapin oleh ibu. Tapi, entah mengapa, sedini apapun aku siap-siap, tetap saja terlambat. Ditambah lagi satu masalah, motor yang susah dinyalakan. Lima belas menit sebelum jam tujuh, sebenarnya aku sudah siap dengan semuanya. Tapi, tidak dengan motorku. Dia membuatku lebih terlambat.

Aku mencoba berkali-kali men-starter dengan menggunakan kaki, hingga sepuluh menit lebih. Tapi, dia tetap tidak nyala. Allah... bagaimana ini?. Akan ada masalah lagi dengan bos besar setelah ini. Aku memanggil bapak untuk meminta bantuan, tapi tidak ada jawaban. Aku terus berusaha menyalakannya, dan akhirnya tetangga ku datang membantu.

Saat motor sudah mulai nyala, ada panggilan masuk. Mr. Andre. Astaghfirullah... Beliau lagi.  Belum selesai degup jantungku sisa kemarin, sekarang ditambah lagi. Ampun Tuhan...

‘Dimana kamu Had?’
‘Ini mau berangkat sir.’
‘Ya Allah Had, gimana to kamu. Sudah kamu fotocopy?’
‘After this sir.’
‘Lhoh, gimana to kamu ini. Kok belum dicopy. Bilang to dari tadi kalau kamu gak bisa datang pagi. Kalau gini kan saya jadi repot.’

Mati. Lengkap sudah.  Beliau benar-benar marah kepadaku. Ada panggilan lagi, Mr. Andre.
‘Udah Had, kamu nggak usah masuk aja.!!’

Nada suara beliau meninggi untuk yang terakhir ini. Aku sudah diatas motorku saat itu, dan berpikir tidak perlu pergi ke Elfast saja pagi itu, karena Mr. Andre pun sudah berkata demikian. Tapi, itu tidak akan menyelesaikan masalah, dan akan berakar menjadi problem yang besar jika aku tidak mengahadap secepatnya.

Aku tiba disana lima menit kemudian. Masuk ke kantor, dan menghadap beliau yang sedang mem-fotocopy materi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Intinya, aku sudah siap dimarahi. Dan, rentetan kalimat-kalimat nasihat beliau beradu di telingaku saat itu. Rasa capek, kecewa, marah, tidak paham atas sikapku, bercampur menjadi satu di diri Mr. Andre. Aku rasa maaf pun tidak bisa membantu atas kesalahanku. Ingin menangis didepan beliau, tapi air mata tidak keluar. Dan aku hanya bisa diam.

Duduk di kantor sendiri, instropeksi kesalahan-kesalahan yang telah kulakukan. Aku kira, sangat banyak sekali. Apalagi di mata bos besar ku. Mungkin salahku lebih banyak dari benarku. Aku tidak boleh masuk kelas beliau, saat ini dan seterusnya. Aku diam, berpikir, dan aku tidak tahu solusinya.

Yang terpikirkan hanya saru, aku memang tidak bisa terikat dengan aturan yang membuatku terkekang. Gilanya, aku malah ingin memutuskan keterikatanku dengan perusahaan itu secepatnya. Tapi, aku berpikir lagi, aku tidak akan mungkin melakukannya. Karena, aku masih punya tanggung jawab untuk membiayai kuliah ku sendiri. Tanpa pekerjaan ini, semuanya akan terbengkalai.

Disaat sendiriku hingga satu jam, istri Mr. Andre memanggilku ke ruangannya. Aku sangat senang melihatnya, begitu anggun dengan jilbab besarnya. Ketika beliau berbicara, terasa menenangkan. Bu Wirda berbasa-basi sejenak dan setelah itu menuju inti pembicaraan tentang masalah ku dengan Mr. Andre. Beliau menanyaiku apa yang terjadi. Dan saat aku mulai berbicara, air mataku tidak tahan lagi untuk terjun bebas. Aku menangis, aku mengadu kepada beliau atas kesalahanku.

Pada akhirnya, Bu Wirda menggaris bawahi atas sikapku. Meskipun tidak sering berkomunikasi, tapi beliau paham betul atas sikapku, yang terkesan easy going. Dari sudut pandang beliau, meskipun dalam kondisi paneng sekalipun, aku masih bisa tersenyum. Dan itu adalah hal positive. Tapi negativenya, ya seperti ini. Aku terkesan dadakan dalam melakukan apapun, tidak suka mempersiapkan segala sesuatu jauh-jauh sebelumnya. Itu menjadi baik ketika aku bisa mengatasinya, tapi menjadi hal yang fatal ketika aku terus menerus melakukannya.

Dari informasi beliau, ternyata Mr Andre juga mempunyai sikap yang sama sepertiku. Berpikir simple. Dan ketika simple dan simple disatukan, maka tidak akan bertemu. Malah akan menimbulkan masalah. Itulah titik temunya.

Satu pesan beliau, aku harus berbicara baik-baik dengan bos besar dan mencoba untuk merubah sikap yang terlalu santai ini. Karakter tidak mudah untuk dirubah. Dan begitupun dalam diriku. Karakter cuek dan easy going sudah terlanjur mengakar lama, lebih lama dari aku mulai memahami sikapku. Tapi, tidak ada cara lain untuk menjadi lebih baik, selain merubahnya pelan-pelan. Semoga Tuhan membantu.

Pintu ‘Ajaib’ Doraemon



Alangkah bahagianya kalau aku bisa punya pintu ‘ajaib’ layaknya doraemon. Dalam selangkah saja, sudah bisa berpindah tempat dari satu wilayah ke wilayah lain, sejauh apapun tempat itu. Dan aku akan sangat beruntung kalau saja mempunyainya. Tapi itu sangat mustahil terjadi. ‘Keajaiban’. Aku butuh itu sekarang, atau hal-hal yang bersangkutan dengan hal-hal ajaib lainnya, yang bisa membantuku tersadar atas segala sikapku selama ini, yang sangat tidak bertanggung jawab atas tugasku.

Sore kemarin, aku terbangun ditengan rintik hujan di kamar sempit kos mbakku di Surabaya. Telah kurencanakan sebelumnya, aku akan pulang ke Pare sore itu, sekitar pukul setengah empat. Tapi karena cuaca tidak bersahabat, mataku pun terpejam melalaikan waktu. Hingga akhirnya, ada panggilan masuk di HP nokiaku bertuliskan ‘ELFAST’, yang membuat mataku terbelalak seketika dan entah mengapa jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Pikiranku melayang kemana-mana sebelum aku mengangkat panggilan tersebut. Sempat terbersit, aku tidak perlu mengangkatnya. Karena kemungkinannya satu, aku diutus untuk pergi kesana segera.

Dengan kesadaran yang belum 100%, aku menerima panggilan itu. Dan benar saja, Bos Besar menyuruhku datang saat itu juga. Tidak boleh terlambat, ada rapat dadakan dan semua harus dikoordinasikan. Ingin pingsan kala itu, tapi aku tidak dapat berbuat apapun selain menjawab ‘IYA”. Semua barang bawaan aku masukkan tas ransel sekenanya. Mencuci muka, sholat ashar kilat, dan aku langsung berlari meninggalkan rumah kos mbakku menuju jalan besar melalui gang sempit. Dan ASTAGA!!!. Jalanan macet tiada tara.

Kulihat jam di HP ku, waktu menunjukkan pukul 16:45. Dan hujan juga seakan menghambat lari kecilku. Saat itu juga, aku segera mengirim pesan pada Bos Besar bahwasannya aku akan sangat terlambat karena masih di jalan.

Macet parah, tersebab kala itu adalah waktu jam pulang kerja, yang membuat banyak polisi berjajar di sepanjang jalan mengatur lalu lintas. Aku berdiri disebelah salah seorang polisi untuk menunggu bis kota. Tapi bis yang aku tunggu-tunggu tidak kunjung datang. Dan aku berpindah menuju tempat, yang sekiranya pak polisi tidak akan berteriak ketika angkutan berhenti, yang akan membuat jalanan lebih macet.

HP ku bergetar. Satu pesan masuk. Dari Mr. Andre (Bos Besar).
Tidak bisa nanti, yang penting sekarang.

Begitu sms yang dikirim beliau. Deg, bagaimana bisa?. Harus kes Elfast saat itu juga, padahal aku masih dipinggir jalan ditengah kemacetan kota Surabaya. Lalu, pesan kedua masuk. Saya tunggu jam 6.30 petang. Otakku terus berputar, satu setengah jam untuk perjalanan Surabaya- Kediri terlihat sangat mustahil. Ditambah nunggu bis, jalanan yang macet, plus ‘ngetem’. Allah... aku hanya butuh keajaibanMu saat itu.

Bis kota tidak segera muncul meski sudah 15 menit aku menunggu. Pada akhirnya, aku menghampiri seorang ibu yang kelihatannya juga menunggu hal yang sama. Aku bertanya, angkutan menuju Bungurasih. Dan, aku temukan keajaiban pertamaku saat itu. Ibu itu mengajakku naik angkutan umum atau Len. Alasannya, kalau nunggu bis kota, akan lebih lama lagi. karena itu, aku harus naik Len meskipun harus ‘oper’ lagi dengan Len lain. Beruntungnya lagi, ibu itu membayar ongkos naik angkutannya.

Hujan masih menemaniku menunggu bis di pintu keluar terminal Bungurasih. Kulihat jam lagi, pukul 17:45. Aku putus asa, dan degup jantungku belum berhenti, masih saja kencang. Hingga pilihan terakhirku, mengirim sms lagi kepada bos besar bahwa aku tidak akan bisa datang pada rapat tersebut. Sebagai resikonya, beliau akan menceramahiku panjang-panjang dan aku akan kehilangan kelasku di periode 10 besok. Tapi hanya dengan itulah, degup jantungku bisa mereda dan aku bisa menunggu bis PATAS tanpa terbebani dengan pikiran itu.

Sekitar 45 menit menunggu, bis PATAS muncul. Aku berharap perjalanan akan memakan waktu tidak kurang dari satu setengah jam. Tapi, entah ada angin apa, bis melaju sangat pelan dan tidak seperti biasanya. Aku memilih tidur saja, ditengah rasa bersalahku. Dan membuat perjalanan pulangku tidak terlalu menyiksa.

Tunggu saja, besok akan ada kejutan lain dari bos besar atas sikap tidak tanggung jawabku lagi. Dan aku rasa pintu ajaib doraemon seharusnya ada padaku saat itu, yang bisa membukakan pintu dari Surabaya ke Pare tanpa ada macet dan segala tetek  bengeknya.


Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Hadna Muthia Izzati
Pare, Kediri, Indonesia
A trainer | A traveler | A dreamer| An Ordinary girl
Lihat profil lengkapku

Ordinary's Friends

Blog contents © Ordinary Little Girl 2010. Blogger Theme by NymFont.