Dewasa, Katanyaa...
Minggu, 04 Agustus 2013
‘Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan’, kata orang
seperti itu.
Dewasa, mungkin belum
semua orang mengalami fase ini. Karena ada berbagai macam kriteria untuk bisa
disebut menjadi dewasa (katanya).
Kenapa saya tiba-tiba ingin
menulis tentang ukuran kedewasaan?. Karena beberapa hari ini saya selalu
kepikiran akan obrolan orang-orang yang katanya sudah ‘dewasa’ di tempat kerja
saya tentang arti dewasa itu sendiri. Mereka berbondong-bondong menilai mana yang
sudah dewasa dan mana yang belum dewasa.
Mungkin usia bukanlah
ukurannya, karena memang di tempat saya mengajar, usia rekan kerja saya sangat
beragam. Mungkin yang termuda 18 tahun hingga usia matang 40 tahun lebih. Dan kami
berada dibawah satu naungan dan harus berkerja bersama-sama.
Kalau bukan usia
ukurannya, lantas apa?.
Suatu hari di dalam
kantor, saya dan beberapa staf pengajar sedang berkumpul di ruang guru untuk
sekedar berbincang-bincang ringan di waktu senggang. Obrolan kami ngalor-ngidul hingga menyangkut hal yang
lebih spesifik, yaitu tentang siapa yang sudah dewasa, siapa yang belum.
Kali ini, yang menjadi
pembicara pasti yang sudah berusia matang, dan kebetulan sudah menikah. Beliau
menilai masing-masing dari kami, yang masih ‘muda’, katanya. Dilihat dari beberapa
pendekatan, memang tidak ada salahnya menilai seseorang jika itu berkaitan
dengan kebenaran. Tapi, apapun hasil dari penilaian tersebut, kami dilarang
ngambek atau marah, karena itu hanya sekedar penilaian, yang bisa saja benar
bisa saja salah.
Dimulai dari Miss Novi,
sebut saja begitu. Usianya lima tahun diatasku. Pembawaannya kalem, tenang, dan
sangat keibuan. Lantas, penilaian yang pas untuk ukuran dia adalah sudah
dewasa, begitu kata Mr. Shon. Aku setuju saja akan hal itu. Dan mengapa aku
harus menyangkal?.
Menuju ke orang ke-dua.
Mr Shon memilih miss Pipi. Usianya sama dengan miss Novi, sekitar seperempat
abad. Tapi beda orang, beda penilaian. Disini, aku bisa menemukan contoh bahwa
seusia bukan berarti sudah mencapai tingkat kedewasaan yang sama pula. Hhhmm,
rumit juga kalau semua orang sudah dewasa, terkesan serius nanti bawaannya.
Hehe.
Saya tidak mau
ketinggalan. Selanjutnya dengan semangat, saya bertanya.
‘Bagaimana dengan ku Mr Shon?’.
Dengan
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan, beliau berdecak dan berkata, ‘Anak muda jaman sekarang, ya kayak kamu itu
Hadna. Sukanya maen, kalau ada masalah santai. Kamu itu masih jauh dari panik,
bahkan kenalan aja belum sama yang namanya ‘gupuh’. Sudah Hadna, kamu itu masih
jauh. Jalan kamu masih panjang. Jangan terburu-buru dulu buat jadi dewasa.
Nikmati saja masa-masa mu. Dan kayaknya kamu memang benar-benar menikmatinya,
dan gak mau ninggalin fasemu saat ini. Kamu itu traveling aja. Nanti kalau udah
waktunya, kamu juga dewasa.’
Saya berteriak riang,
bukan malah kecewa dibilang belum dewasa. Malah aku sangat mengamini
kata-katabeliau. Mr Shon benar, saya sangat menikmati masa-masa ini. Beliau
memang dukunnya Elfast. Tau semua tentang kami, yang lebih muda dari beliau.
Untuk usia saya yang
masih beranjak dua puluh-an, fase yang nge-trend
disebut dengan ‘ababil’ memang masih banyak melekat dalam diri saya.
Masa-masa transisi ini kadang yang membuat sikap saya berubah-ubah, kadang
sedih, marah, atau bahagia. Dan didalam fase ini, saya sangat menikmatinya.
Saya tidak ingin meninggalkan terlalu cepat masa-masa ini. Saya rasa hidup ini
sangat indah jika diwarnai dengan berbagai macam kejadian-kejadian dari sikap
labil kita. Hehe.
Kadang saya berpikir
untuk menjadi dewasa dengan bersikap sama seperti dia, atau dia. Harus bersikap
begini, tidak boleh begitu. Tapi tidak untuk saat ini, saya adalah saya. Saya
bisa menikmati hidup dengan cara sendiri. Entah itu harus disebut dewasa atau
masih ababil bahkan kekanak-kanakan. Harusnya, saya tidak harus pusing dengan penyebutan
itu semua. Selama saya bisa bertanggung jawab atas hidup saya dan saya tidak
merugikan orang lain, masih penting kah predikat itu semua?.