Sewu Suwe, Sak Ndlosore…

Sewu Suwe, Sak Ndlosore…

Kalimat dalam bahasa jawa yang terdengar cukup unik, dan itu menjadi sebuah kalimat yang selalu terngiang untuk para pemuda maupun pemudi yang biasa nongkrong, atau lebih tepatnya ngopi di warung yang bernama “Empat Mata”. Hanya beberapa orang mungkin yang tahu akan kalimat itu, tapi itu bak menjadi sebuah password penting untuk mengingatkan sebuah memori yang telah berlalu. Tepatnya adalah mereka segerombolan siswa-siswa TC periode 111 BEC.

Warung Empat Mata
Berawal dari sekumpulan pria yang setiap harinya selalu menghabiskan malam mereka dengan bercengkrama bersama, ditemani segelas kopi dan sepiring nasi goreng hangat, di sebuah warung yang bernama Empat Mata, muncullah sebuah kalimat yang penuh makna, ‘Sewu Suwe”. Atau arti dalam bahasa Indonesia adalah seribu lama. Maksut dari seribu dalam kata-kata tersebut adalah harga segelas kopi yang hanya seribu, itupun bisa dinikmati lama-lama hingga mungkin berjam-jam sambil tiduran atau dalam bahasa Jawa, ndlosor, demi secangkir kopi dan kebersamaan. Hingga terciplah rangkaian kata-kata, ‘Sewu Suwe, Sewu Suwe Sak Ndlosore’. Creative enough.

Letaknya tepat di depan toko buku Asmo Jhon atau di sebelah timur kursusan pertama di Pare, “Basic English Course”, di Jl. Anyelir Pare. Buat semua anak kursusan, pasti tidak akan asing dengan nama jalan ini. Karena memang termasuk salah satu akses jalan yang ramai dilalui siswa kursusan, dan banyak pula kursusan besar ataupun kecil di jalan ini.
Kembali ke Empat Mata. Warung yang namanya persis seperti acara Tukul Arwana. Terinspirasi dari acara TV itu mungkin. Entah. Warung itu terlihat sepi di siang hari, kadang juga tutup memang pada siang hari. Kadang kala mulai dibuka di sore hari hingga tutup larut malam.

Salah satu ke-khasan lain dari warung ini adalah nasi goreng nya yang enak dengan koki yang nyentrik pula. Rambut ikal gondrong yang selalu diikat, mirip orang reggae. Dan juga, cara masak yang penuh energy. Hingga kadang memasak nasi gorengnya dengan mengeluarkan banyak peluh. Semoga saja peluhnya tidak tercampur dengan nasi goreng, kan tambah rasa nanti jadinya. Hehe. Tapi rambut panjang yang selalu diikat itu, tidak dapat dilihat lagi sekarang. Karena sang pemilik rambut sudah memotong rambut gondrongnya hingga hampir gundul, hanya menyisakan beberapa centi dari rambut awalnya. Semoga saja, tidak akan menghilangakan kesaktiannya memasak nasi goreng enak.

Mas Gondrong :)

Nasi goreng dengan harga terjangkau yaitu lima ribu rupiah saja, akan membuat semua penikmatnya akan ketagihan dan ingin makan lagi esoknya. Tapi, dengan porsi yang sangat banyak, akan sangat hebat dan kuat jika seorang gadis menghabiskan sepiring nasi goreng seorang diri. Kalau aku, harus dengan bantuan orang lain ketika makan nasi goreng itu. Karena memang sangat banyak porsinya, persis seperti porsi kuli.

Aku baru mengetahui warung kopi dan nasi goreng Empat Mata itu beberapa bulan setelah aku belajar di BEC, sekitar tahun 2010 lalu. Sebelumnya, aku memang bukan anak kosan yang setiap harus mencari makanan di luar. Tapi setelah enam bulan, karena alasan program yang padat, akhirnya aku memutuskan untuk nge-kos. Dimulai dari kebiasaan sering lapar di malam hari, dan berakhirnya kelas yang larut malam pula, aku dan teman-teman selalu ingin mencari pengisi perut yang masih fresh atau baru saja dimasak. Tidak lain adalah nasi goreng. Masakan yang langsung siap disantap setelah diangkat dari penggorengan.

Ada bermacam-macam pilihan sebenarnya, untuk nasi goreng. Ada yang bernama nasi goreng “Mak Cruel”, mak yang jahat, hehe. Maaf. Karena memang, penjualnya ini adalah ibu-ibu yang susah tersenyum, dan yang unik lagi adalah nasi goreng yang keras dan perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk mengunyah. Ada lagi, nasi goreng arang. Api yang digunakan untuk memasak adalah dari arang, sehingga akan menimbulkan aroma yang sedap. Tapi, meskipun banyak pilihan, tetap saja nasi goreng Empat Mata yang menjadi pilihanku.

Awalnya aku juga tidak mengetahui asal muasal kata-kata ‘Sewu-Suwe’, tapi karena kebanyakan nongkrong bareng perjaka yang sering ngopi di warung itu, akhirnya aku pun mengetahui seluk beluk kata itu. Unik juga, pikirku waktu itu. Sering berteriak kata-kata itu pula dari pinggir jalan ketika melewati warung itu malam-malam saat teman-temanku nongkrong disana. Masih Ababil waktu itu memang, ABG Labil, hehe. Hingga sekarang pun, ketika chatting dengan teman seperjuangan jaman dahulu, password yang disebutkan adalah sewu-suwe. Hehe.

Tapi sekarang, sudah tidak ada lagi kata-kata itu di warung lesehan yang sering didominasi oleh pembeli pria. Karena kata-kata itu memang khas milik sekelompok orang tertentu. Para siswa BEC TC 111. Meskipun begitu, mas gondrong pemilik warung, yang aku selalu lupa bertanya namanya meskipun sudah panjang lebar ngobrol ngalor-ngidul, sering memberi informasi jika teman-teman mampir nongkrong, kalau saja datang ke Pare.

Tempat itu menjadi tempat favoritku, untuk nongkrong bareng teman atau teman special. Tidak hanya karena nasi gorengnya yang enak, tapi juga bisa menjadi tempat nongkrong tanpa batas waktu, hingga berjam-jam tanpa dipungut biaya. Menghabiskan waktu dengan berbagi cerita dan pengalaman hidup. Sangat tidak terlupakan.

Hal yang menarik dan tidak terduga lainnya adalah ketika bertemu teman lama di tempat itu, yang jarang bisa bertemu meskipun direncanakan. Ini cerita tentang warung penuh cerita, ‘Empat Mata’.

Satu kalimat terakhir, “Sewu Suwe- Sak Ndlosore’. Hehe. 

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Hadna Muthia Izzati
Pare, Kediri, Indonesia
A trainer | A traveler | A dreamer| An Ordinary girl
Lihat profil lengkapku

Ordinary's Friends

Blog contents © Ordinary Little Girl 2010. Blogger Theme by NymFont.