Purnama di Jogja
Selasa, 10 September 2013
Pundakku
diguncang-guncang oleh seseorang yang duduk disampingku. Sudah hampir delapan
jam aku tidur terlelap. Hanya sesekali bangun ketika aku harus berganti posisi
dudukku di atas bis ‘Sumber Selamet’
(yang dulu dikenal dengan ‘Sumber Kencono’),
yang membawaku ke kota Jogjakarta di minggu ketiga bulan Syawal kemarin.
‘Udah nyampek Na’, begitu
ucap mbak Novi, teman yang pergi bersamaku.
Akhirnya, sampai juga,
batinku. Punggung terasa kaku dan pegal. Duduk tepat dibawah AC bis yang cukup
dingin, dengan kondisi dalam bis umum yang berjubel dengan orang, serta supir
yang cukup ugal-ugalan, membuatku sedikit kesal dengan perjalanan kali itu.
Terasa capek pake banget. Perutku mual tapi tidak bisa muntah. Bah, tidak enak
sekali rasanya.
Aku sedikit lega, ketika
memasuki terminal Giwangan. Aku segera menuju masjid, bukan untuk sholat, tapi
untuk buang air kecil. Karena aku memang sedang mendapat jatah ‘libur’ kala
itu, jadi aku bisa menikmati masa singkat menunggu mbak Novi yang sedang sholat
dengan duduk di emperan masjid, sembari menetralkan kembali rasa
terguncang-guncang akibat naik bis.
Entah, aku tidak tahu apa
tujuanku melakukan perjalanan jauh kali ini. Aku berpikir lagi, dan terus
berpikir. Mengapa aku tiba-tiba memutuskan untuk pergi ke Jogjakarta, yang
awalnya tidak kurencanakan sama sekali di list jalan-jalanku. Mungkin juga ini
adalah ungkapan kekesalanku.
Memang, ada beberapa
alasan hingga akhirnya aku tiba juga di kota ini. Alasan terbesarnya adalah
karena aku gagal merealisasikan mimpi touring-ku,
yang sudah aku dan teman-temanku rencanakan jauh-jauh hari.
Dan alasan kedua
adalah penolakan halus dari teman lamaku untuk bertemu. Padahal nyatanya, kami
tidak pernah bertemu selama dua tahun terakhir, namun dia tidak ada tekat yang
besar untuk setidaknya menyempatkan satu hari saja bertemu.
Mengapa
kesenangan-kesenangan yang seakan bisa tercipta dengan jelas luntur dengan
perlahan-lahan hanya karena tidak ada keserasian, sebut saja resonansi. Ini yang membuatku pergi
hingga sejauh ini, hingga ke Kota Jogjakarta.
Mbak Novi lagi-lagi
membuyarkan lamunanku. Dia sebenarnya juga bertanya-tanya mengapa aku mendadak
ingin ikut pulang bersamanya?. Jawabku hanya simple, pengen maen aja kerumah sampean.
Padahal itu hanya alibi agar aku tidak menyesal dengan diam ku di rumah.
Dia juga bertanya
kepadaku, pengen pergi kemana. Aku juga tidak tahu tujuan yang jelas. Dan aku
hanya bisa menjawab dengan pasrah, ikut sampean
aja mbak. Padahal aku sangat membenci hal itu, ketika aku berpergian, tidak
tahu tujuan.
Tapi aku tahu
keinginanku, satu yang aku inginkan saat itu, pergi melihat dan mendengar debur
ombak pantai selatan. Itu saja cukup. Sayangnya, senja sudah terlalu petang.
Dan pantai selatan mungkin hanya di mimpi saja.
Kesal, pasti. Capek,
sudah sejak di atas bis. Tapi aku tidak mau hal itu terlihat oleh mbak Novi,
yang sudah bersedia membawaku bersamanya hingga Ke Jogja. Aku tidak akan
merepotkannya dengan muka yang tertekuk, dan perasaan yang sebenarnya aku
rasakan.
Dia membawaku menuju arah
barat, Kulonprogo, kampung asalnya. Dengan motor Supra bututnya, aku menikmati
dinginnya Jogja, sekali lagi. Aku mencoba untuk tersenyum dan mencoba
bersahabat dengan keadaan. Malam itu ternyata sangat indah. Hanya saja aku
tidak menyadarinya karena terlalu menggerutu dengan keadaan.
Dan juga, bulan di langit
sungguh memesona. Mengapa tidak kusadari dari tadi?. Ternyata, perjalanku kali
ini tidak seburuk yang aku pikirkan. Aku hanya perlu sedikit menghilangkan rasa
kesal, dan merubahnya dengan rasa kagum. Mungkin, itu cukup untuk membuat
keadaan lebih baik.