Purnama di Jogja


Pundakku diguncang-guncang oleh seseorang yang duduk disampingku. Sudah hampir delapan jam aku tidur terlelap. Hanya sesekali bangun ketika aku harus berganti posisi dudukku di atas bis ‘Sumber Selamet’ (yang dulu dikenal dengan ‘Sumber Kencono’), yang membawaku ke kota Jogjakarta di minggu ketiga bulan Syawal kemarin.

‘Udah nyampek Na’, begitu ucap mbak Novi, teman yang pergi bersamaku.

Akhirnya, sampai juga, batinku. Punggung terasa kaku dan pegal. Duduk tepat dibawah AC bis yang cukup dingin, dengan kondisi dalam bis umum yang berjubel dengan orang, serta supir yang cukup ugal-ugalan, membuatku sedikit kesal dengan perjalanan kali itu. Terasa capek pake banget. Perutku mual tapi tidak bisa muntah. Bah, tidak enak sekali rasanya.

Aku sedikit lega, ketika memasuki terminal Giwangan. Aku segera menuju masjid, bukan untuk sholat, tapi untuk buang air kecil. Karena aku memang sedang mendapat jatah ‘libur’ kala itu, jadi aku bisa menikmati masa singkat menunggu mbak Novi yang sedang sholat dengan duduk di emperan masjid, sembari menetralkan kembali rasa terguncang-guncang akibat naik bis.

Entah, aku tidak tahu apa tujuanku melakukan perjalanan jauh kali ini. Aku berpikir lagi, dan terus berpikir. Mengapa aku tiba-tiba memutuskan untuk pergi ke Jogjakarta, yang awalnya tidak kurencanakan sama sekali di list jalan-jalanku. Mungkin juga ini adalah ungkapan kekesalanku.

Memang, ada beberapa alasan hingga akhirnya aku tiba juga di kota ini. Alasan terbesarnya adalah karena aku gagal merealisasikan mimpi touring-ku, yang sudah aku dan teman-temanku rencanakan jauh-jauh hari.
Dan alasan kedua adalah penolakan halus dari teman lamaku untuk bertemu. Padahal nyatanya, kami tidak pernah bertemu selama dua tahun terakhir, namun dia tidak ada tekat yang besar untuk setidaknya menyempatkan satu hari saja bertemu.

Mengapa kesenangan-kesenangan yang seakan bisa tercipta dengan jelas luntur dengan perlahan-lahan hanya karena tidak ada keserasian, sebut saja resonansi. Ini yang membuatku pergi hingga sejauh ini, hingga ke Kota Jogjakarta.

Mbak Novi lagi-lagi membuyarkan lamunanku. Dia sebenarnya juga bertanya-tanya mengapa aku mendadak ingin ikut pulang bersamanya?. Jawabku hanya simple, pengen maen aja kerumah sampean. Padahal itu hanya alibi agar aku tidak menyesal dengan diam ku di rumah.

Dia juga bertanya kepadaku, pengen pergi kemana. Aku juga tidak tahu tujuan yang jelas. Dan aku hanya bisa menjawab dengan pasrah, ikut sampean aja mbak. Padahal aku sangat membenci hal itu, ketika aku berpergian, tidak tahu tujuan.

Tapi aku tahu keinginanku, satu yang aku inginkan saat itu, pergi melihat dan mendengar debur ombak pantai selatan. Itu saja cukup. Sayangnya, senja sudah terlalu petang. Dan pantai selatan mungkin hanya di mimpi saja.

Kesal, pasti. Capek, sudah sejak di atas bis. Tapi aku tidak mau hal itu terlihat oleh mbak Novi, yang sudah bersedia membawaku bersamanya hingga Ke Jogja. Aku tidak akan merepotkannya dengan muka yang tertekuk, dan perasaan yang sebenarnya aku rasakan.

Dia membawaku menuju arah barat, Kulonprogo, kampung asalnya. Dengan motor Supra bututnya, aku menikmati dinginnya Jogja, sekali lagi. Aku mencoba untuk tersenyum dan mencoba bersahabat dengan keadaan. Malam itu ternyata sangat indah. Hanya saja aku tidak menyadarinya karena terlalu menggerutu dengan keadaan.

Dan juga, bulan di langit sungguh memesona. Mengapa tidak kusadari dari tadi?. Ternyata, perjalanku kali ini tidak seburuk yang aku pikirkan. Aku hanya perlu sedikit menghilangkan rasa kesal, dan merubahnya dengan rasa kagum. Mungkin, itu cukup untuk membuat keadaan lebih baik.

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Hadna Muthia Izzati
Pare, Kediri, Indonesia
A trainer | A traveler | A dreamer| An Ordinary girl
Lihat profil lengkapku

Ordinary's Friends

Blog contents © Ordinary Little Girl 2010. Blogger Theme by NymFont.