Jogjakarta Malam Itu


Jogjakarta, kota istimewa dengan gudegnya, kota pelajar dari ribuan mahasiswa dari seantero negeri, dan kota budaya dengan puluhan objek wisatanya yang kata orang-orang kota yang tidak ada matinya. Benar-benar mati tepat saat malam pergantian tahun 2012. Tidak ada kemeriahan pesta kembang api, tidak ada bunyi terompet, dan tidak ada keramaian orang yang bersuka cita menyambut tahun baru. Itu yang terjadi padaku saat pergantian tahun 2011 menuju tahun baru 2012. Malam itu benar-benar berbeda dari malam-malam pergantian tahun sebelumnya bagiku. Yang biasa aku habiskan hingga larut malam, meskipun hanya di kota kecil yaitu Pare.
Hari terakhir di penghujung tahun 2011, benar-benar melelahkan bagiku. Karena ajakan seorang teman, Umi, dan bekal uang yang terbatas hanya sekitar 200 ribu untuk 2 orang, aku dan Umi nekat merayakan tahun baru di kota tugu. Awalnya aku menolak, namun akhirnya aku tidak tega melihatnya memelas meminta padaku untuk menemaninya. Dengan syarat dia harus bertanggung jawab atas apapun yang akan terjadi di sana. Melakukan perjalan jauh dari Kendal- Semarang- Jogjakarta dengan tiga kali transit bis dari jalur Pantura Kendal ke terminal Mangkang lalu ke Terboyo dan terakhir naik bis ‘Ramayana’ jurusan Jogjakarta dengan tujuan akhir Terminal Giwangan. 
Bis Ramayana
 Perjalanan yang ku taksir hanya memakan waktu 4 sampai 5 jam ternyata mencapai hampir tujuh setangah jam. Tidak heran, karena itu adalah hari dimana orang-orang berbondong-bondong pergi ke kota Gudeg untuk merayakan ‘new year’, yang menyebabkan kemacetan yang padat sepanjang Magelang- Sleman. Bis yang sudah penuh penumpang tidak mengurungkan niat penumpang lain berdesak-desakan meskipun mereka rela berdiri beberapa jam di atas bis yang bagaikan siap memanggang tubuh bila didalamnya, karena kaca jendela yang harus ditutup rapat karena diluar sedang hujan deras dan udara di dalam bis yang tidak setara dengan jumlah manusia yang berebut oksigen untuk bernafas.
Bis yang terus berjalan merayap, diiringi dengan suara klakson tanpa henti dari supir bis ‘Ramayana’, yang bisa dikatakan ugal-ugalan itu, membuat kepalaku tiba-tiba cenut-cenut. Dengan virus batuk dan pilek yang sudah bertandang di badanku sebelumnya, menambah lengkapnya penderitaanku. Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB ketika bis memasuki tujuan akhir yaitu terminal Giwangan. Keruwet-an mulai terjadi karena teman Umi yang berjanji akan menjemput tidak segera datang. Aku bertanya padanya saat itu, ‘Nanti kita malam tahun baruan dimana?’, dia menjawab dengan polosnya, ‘Nggak ngerti, liat dulu temenku nanti.’ Hmm.. ok, aku sabar menunggu keputusan akan kemana kita nanti, sambil menunggu jemputan di pinggir jalan yang mulai ramai orang bermalam minggu sekaligus merayakan pesta yang terjadi satu tahun sekali itu.
Umi 'Yummy Cool'
 Perkiraanku, setelah sampai di kota Jogjakarta, aku langsung diajak makan gudeg atau makanan apalah yang khas dari kota ini. Dan malamnya setelah mandi dan sholat isya’, aku bisa jalan-jalan mengelilingi tugu dan sepangjang jalan mallioboro dengan diiringi suara ratusan tiupan terompet dari para pengunjung pastinya dan menikmati indahnya percikan kembang api di tengah lautan manusia. Angan-angan ku sudah begitu indah ketika aku akan menghabiskan akhir dan awal tahun baruku di lain kota.
Sekitar hampir dua puluh menit aku dan Umi menunggu Ana(teman Umi), akhirnya dia datang dengan satu orang temannya. Alhamdulillah, lega rasanya sudah bersama orang yang mengenal seluk-beluk kota itu. Melalui percakapan singkat antara Umi dan Ana, akhirnya aku tahu kalau aku harus tinggal di pondok malam itu. Dan pasti ada aturan tertentu ketika sudah memasuki wilayah tersebut, salah satunya yaitu tidak boleh keluar pada malam hari tepatnya setelah isya’. Karena pada saat itu para santri dan santriwati diwajibkan untuk memperdalam ilmu agama mereka dengan ngaji kitab kuning.
Gambaran tentang tahun baru di kota itu yang telah aku pikirkan sedemikian rupa tiba-tiba sirna, karena aku harus tetap tinggal di kamar yang hanya berukuran 4x4 untuk kapasitas 18 orang. Betapa sempitnya ruangan itu untuk orang sepadat dan sebanyak itu. Kesan pertama ketika aku sampai di pondok putri luqmanulhakim adalah persis seperti tempat TKW yang akan diberangkatkan ke luar negeri, yang menuggu jadwal keberangkatan atau masih dalam masa training. Tapi aku sudah tidak menghiraukan masalah pondok dan kamar, yang terjadi pada saat itu adalah rasa capek yang sangat pada sekujur tubuh dan rasa kecewa pada Umi.
Muncul pikiran, seandainya saja aku tadi bisa menolak ajakan seorang teman, pasti malam tahun baruku akan tidak begitu buruk seperti malam itu, karena aku hanya menghabiskan malam terakhir dengan melamun dan termenung tanpa arti. Benar-benar tidak ada sesuatu yang ‘wah’ malam itu. Jauh-jauh aku datang ke kota itu, ternyata sambutan tuan rumah dan angan-anganku tidak ada yang sesuai. Sabar ya had,, :)


Itu cerita malam tahun baruku, gimana ceritamu???

1 komentar:

Herma Yulis 30 Mei 2013 pukul 00.45  

haha...ga jadi tahun baruang dong mis? jauh-jauh dari Pare akhirnya cuma meringkuk di kamar. cerita yg menarik...

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Hadna Muthia Izzati
Pare, Kediri, Indonesia
A trainer | A traveler | A dreamer| An Ordinary girl
Lihat profil lengkapku

Ordinary's Friends

Blog contents © Ordinary Little Girl 2010. Blogger Theme by NymFont.