Hingga Ujung Waktu



Mengapa harus ada perpisahan kalau pertemuan selalu menyenangkan’

Sabtu malam 12 Oktober 2013 di RS Amelia

Mungkin waktunya sudah tiba. Batinku sangat yakin bahwa malam itu adalah ujung dari penjalanan hidup yang dia lewati. Menit-menit terakhir yang begitu menyiksa,dan aku merasakannya. Aku merasakan kehadiran berjuta makhluk yang tidak terlihat memenuhi kamar rumah sakit tempat dia berbaring lemah.

Apa yang bisa kami lakukan??. Bapaknya, ibunya, semua keluarganya termasuk aku berkumpul merapalkan do’a dan surat Yasin belasan kali. Tidak ada tawa lagi, semua bersedih dalam penantian yang begitu menyakitkan. Antara hidup atau mati...
***

Kedua kakak ku pulang dari Surabaya dan Sidoarjo, mbak Zidny dan mas Bahar. Hari itu memang hari libur cukup panjang karena Lebaran Idul Adha esoknya. Aku berencana untuk mengajak mereka makan di luar malamnya. Namun, aku teringat kalau salah satu keponakanku (Apin) sedang dirawat dirumah sakit. Hingga aku pun membatalkan niatku.

Apin saat berusia 8 tahun-an


Sebut saja Apin (Mohammad Adi Makayasa). Laki-laki yang masih bisa disebut bocah, dengan perawakan tinggi, berparas tampan, dan cukup kekar. Mungkin jika dia sehat dan bisa beraktifitas biasa, dia akan tumbuh menjadi pria yang disukai banyak gadis. Umurnya setara dengan siswa SMA kelas X, 16 tahun tepatnya. Namun, garis takdir berkata lain, dia tidak dapat menjalani masa-masa indah di SMA nya. Dia harus sabar dalam sakitnya dan tidak bisa beraktifitas seperti teman sebayanya.

Dia sudah sakit selama satu tahun lebih. Gejala awal penyakitnya sama seperti gejala cikungunya. Panas tinggi, hingga tidak bisa berjalan. Beberapa minggu menjalani perawatan hingga dia bisa berjalan kembali. Namun naas, satu hari saat dia ingin pergi ke kamar mandi, dia jatuh terpeleset. Sejak saat itu, kira-kira bulan Juli 2012, dia terbaring lemah dan tidak bisa berjalan kembali.

Diagnosa dokter berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa penyakitnya adalah penyempitan tulang belakang, ada yang bilang cingukunya, ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah guna-guna. Orang tuanya semakin bingung untuk meng-identifikasi apa penyakit sebenarnya. Sudah berkali-kali harus pindah untuk rawat inap dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lainnya di Jakarta. Namun, tidak ada banyak kemajuan.
Hingga orang tua Apin memutuskan untuk pulang kampung saja ke Pare dan dirawat disini. Lebih baik disini, dekat dengan keluarga dibanding ketika di Jakarta.

Perjalanan hingga mencapai 24 jam dengan mobil dari Jakarta menuju Pare adalah suatu perjalanan panjang yang melelahkan sekaligus menyakitkan bagi Apin. Selama itu dia tidak bisa menggerakkan anggota badannya karena harus terbaring mengikuti kemana mobil berjalan. Dengan kondisi yang tidak bisa melakukan apapun, dia harus menggunakan ‘pampers’ untuk menampung air kencingnya saat dia ingin buang air kecil. Aku bisa membayangkan itu akan sangat tidak nyaman karena lembab dan kotor.

Tiba di Pare, kondisi tetap sama. Apin tidak menunjukkan kemajuan dalam kesehatannya. Dan kami sadar, bahwa mulai saat itu dan seterusnya, bahwa dia butuh penanganan khusus layaknya bayi,dan itu adalah ujian baru bagi ibunya.

Beberapa hari setelah di Pare, ada gejala penyakit lain yang muncul. Karena perjalanan panjang yang dia lakukan sebelumnya, bakteri menyerang bagian pantatnya dan sela-sela pahanya hingga timbul luka-luka merah. Berjalannya bulan, luka itu semakin parah. Melebar dan membesar hingga membentuk sebuah lubang di bagian belakang tubuhnya, tepat pada bagian tulang ekor. Pernah sekali aku melihat luka pada bagian itu, terlihat tulang ekornya dengan jelas. Allah, sakit apa yang Engkau berikan pada adikku ini. Luka itu pasti menyakitkan. Tuhan, berikan dia kesabaran...

***

Tidak bisa berjalan, itu pada awalnya. Dan diagnosa dokter tidak ada yang yakin menyebutkan apa penyakit yang diderita oleh Apin. Oprasi, bukan jalan terbaik menurut orang tuanya. Hingga pada bulan-bulan berikutnya setelah tinggal di Pare, fokus bukan lagi pada bagaimana cara menyembuhkan kelumpuhan yang sudah diderita Apin selama berbulan-bulan. Namun, fokus sudah beralih pada bagaimana menyembuhkan luka pada bagian pantatnya yang semakin membesar.

Pengobatan medis dan non-medis pun sudah dijalani. Namun, kondisi tetap tidak berubah selama beberapa bulan lamanya, terhitung dari Juli 2012 hingga tiba pada bulan Oktober 2013.

***
Oktober, 2013

[ Mungkin aku adalah salah satu orang yang cukup sering menjenguk Apin dirumahnya, meskipun hanya sekedar bekata “Hai”. Dan satu hal yang kuingat ketika aku datang mendekatinya, bahkan setiap orang yang menjenguknya, adalah ketika dia meminta untuk diambilkan air minum. “Mbaaak, ambilin minuum...” ]

Sabtu malam minggu kedua bulan Oktober kali ini sangat kelabu. Aku harus terburu-buru pergi ke rumah sakit untuk mengambilkan buku Yasin karena Ibuku menelfon dan harus datang kesana secepatnya. Kondisi Apin sudah sangat memburuk.

Sejak sehari sebelumnya, dia terus saja mengeluarkan cairan hitam dari mulutnya. Itu semua berasal dari lambungnya yang terluka. Selang dipasang dihidung, dan terlihat cairan hitam juga keluar dari hidungnya. Aku tidak tega melihatnya ya Allah.

Cairan infus adalah satu-satunya pemasok energi bagi tubuh Apin. Dengan oksigen yang juga dipasang melalui selang pada mulutnya. Kata dokter, tidak boleh ada makanan atau minuman apapun yang masuk melalui mulutnya, karena Apin sudah tidak bisa lagi menelan makanan.

Setelah sholat magrib, aku mengajak masku Bahar, segera pergi ke RS. Hanya kurang dari sepuluh menit, kami sampai di kamar Anggrek 1 Amelia. Suasana kamar sudah begitu mencekam. Kulihat bapak dan ibunya merapal bacaan ayat Qur’an disamping telinga Apin.

Hatiku berdesir, aku  sangat tidak tega dengan keadaan Apin. Kubuka Qur’an yang kubawa dan segera kubacakan Yasin untuknya. Sesekali aku melihat kearahnya, kata ibuku dia sedang koma setelah beberapa saat sebelumnya kejang-kejang. Saat aku melihat, matanya dalam keadaan membuka meskipun koma, dan dia masih saja menggigit-gigit bibirnya, hingga terlihat darah keluar.

Alat pengukur dunyut nadi, masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Meskipun pada saat itu, aku merasa bahwa itu adalah akhir atau masa-masa naza’nya. Aku tidak henti merapal al-fatihah dan surat Yasin untuknya. Berikan yang terbaik menurut Mu ya Allah. Jika kematian adalah yang terbaik untuknya, berikan kemudahan untuknya Allah. Dan jika Engkau masih menginginkan dia disamping kami, sadarkan dia dan sembuhkan dia Allah...

Aku ingin menangis saja waktu itu. Sungguh aku tidak bisa membayangkan kalau aku berada dalam kondisi Apin, dalam pesakitannya yang teramat sangat, dan dia harus merasakannya seorang diri.

Kerabat lain segera berdatangan pukul 7 lebih setelah aku mengirim beberapa pesan. Pada saat itu, ibuku mengajakku untuk menunaikan sholat isya’ bersama bapak. Usai berdo’a, aku dan ibuku ingin beristirahat sejenak di emperan masjid RS. Dan kami berbincang singkat tentang kondisi Apin. Dan ibuku berkata bahwa kalau saja orang tuanya ikhlas atas semua kehendak Allah, pasti jalannya akan dipermudah. Setelah perbincangan singkat itu, adik Apin (Adam) memanggil kami dengan setengah berlari sambil menangis terisak-isak. Kami segera berlari menuju kamar. Diluar kamar, kerabat sudah berkumpul dan linangan air mata sudah membanjiri mata mereka semua. Aku tahu itu sudah waktunya.

Malam itu, tepat pukul 7.30, Allah mengambil nyawa adik kami tercinta, Apin. Aku yakin Allah mengambilnya dengan cara terbaik. Kulihat muka adik kami sudah memucat, dengan garis wajah yang sangat tenang. Aku melihat, tidak terlihat lagi pesakitan yang dirasakannya. Mungkin memang itu adalah jalan yang terbaik baginya.

Kami sadar, semua tidak mungkin lagi untuk kembali. Kami semua harus ikhlas melepas adik tercinta, Apin. Namun, kami sangat percaya bahwa Apin akan ditempatkan pada posisi terbaik di sisi Nya. Penyakit yang dideritanya selama setahun lebih akan menghapus semua dosanya, karena yang kami tahu dia sangat sabar dan jarang mengeluh atas kondisi yang dideritanya.

Rapalan do’a kami, kakak-kakak mu, adikmu, teman-temanmu, budhemu, pakdhemu, ibumu, bapakmu, kakekmu, nenekmu, dan semua kerabat akan selalu mengalir untukmu, yang tercinta, Apin. Tersenyumlah dan tenanglah disana. Kami akan selalu bersamamu, dalam kenangan yang sudah terekam dalam memori, dalam angan-angan yang terekam dalam ingatan, dan senyumanmu yang selalu mengingatkan kami tentang ketabahan dan kesabaran.
Apin, terbaring lemah di RS di Jakarta. Namun senyumnya masih mengembang :)

Untuk adik kami tercinta, kami selalu merindukanmu.

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Hadna Muthia Izzati
Pare, Kediri, Indonesia
A trainer | A traveler | A dreamer| An Ordinary girl
Lihat profil lengkapku

Ordinary's Friends

Blog contents © Ordinary Little Girl 2010. Blogger Theme by NymFont.